TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum menuntut pidana tambahan berupa pencabutan hak Setya Novanto dalam jabatan publik selama lima tahun.
"Terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan," kata jaksa Abdul Basir dalam pembacaan tuntutan terdakwa kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), Setya Novanto, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis, 29 Maret 2018.
Dalam surat tuntutan, Setya dituntut kurungan 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, yang apabila tidak dibayar mesti diganti dengan kurungan selama enam bulan.
Baca juga: Pengacara Optimistis JC Setya Novanto Dikabulkan, Alasannya...
Tak hanya itu, Setya dijatuhi tuntutan pidana pengganti berupa pengembalian kerugian negara US$ 7,435 juta dikurangi uang pengganti yang telah dibayarkan Setya Rp 5 miliar, yang harus dilunasi selama satu bulan setelah pembacaan putusan.
"Jika terdakwa tidak bisa membayar uang pengganti, maka jaksa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akan merampas harta bendanya dan melelangnya untuk menutupi uang pengganti," ujar Basir.
Apabila setelah dilelang harta benda milik Setya masih belum cukup untuk membayar uang pengganti, ia dijatuhi pidana penjara selama tiga tahun.
Setya, kata Basir, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jaksa juga menilai bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu telah menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan pengaturan secara langsung ataupun tidak langsung dalam proyek e-KTP. Setya juga terbukti menerima duit e-KTP US$ 7,3 juta. Dia juga dinilai terbukti menerima jam tangan merek Richard Mille seharga US$ 135 ribu.
Baca juga: Pengacara Optimistis JC Setya Novanto Dikabulkan, Alasannya...
Hal yang dinilai memberatkan Setya antara lain ia dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Perbuatan Setya juga dinilai bersifat masif, yaitu menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional dan menimbulkan kerugian keuangan yang cukup besar. Selain itu, dia dinilai bersikap tidak kooperatif dalam proses penyidikan dan persidangan.
Sedangkan hal yang meringankan Setya Novanto antara lain dia belum pernah dihukum sebelumnya, juga menyesali perbuatannya. "Lalu terdakwa bersikap sopan dalam persidangan," ucap Basir.