TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan revisi Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU MD3, tidak otomatis berlaku hari ini meski sudah 30 hari setelah disahkan.
"Jadi memang wajib diundangkan. Namun, nanti mengikatnya ketika sudah diundangkan dengan pemberian nomor (oleh Kementerian Hukum dan HAM)," kata Refly kepada Tempo pada Rabu, 14 Maret 2018.
Refly mempunyai sejumlah catatan terhadap UU MD3 yang sudah sah meski tanpa ditandatangani Presiden Joko Widodo itu. Pertama, pasal terkait penambahan satu kursi pimpinan di DPR dan tiga kursi pimpinan di MPR.
Baca: Jokowi Putuskan Tolak Tandatangani UU MD3
Menurut Refly, pasal yang mengakomodir penambahan pimpinan DPR dan MPR terlihat bermasalah karena dibuat di tengah jalan seperti saat ini. Jika legislator ingin membuat aturan tersebut, kata dia, semestinya mereka harus konsisten.
Alasannya, pemberian kursi pimpinan dalam pasal tersebut ingin dikembalikan kepada pemilik kursi terbanyak. Seharusnya, kata dia, hasil untuk kursi terbanyak diterapkan setelah pemilu legislatif tahun depan. Jika diterapkan sekarang, akan mendapatkan perlakuan yang berbeda. "Ada partai yang mendapatkan pimpinan secara pemilihan dan partai mendapatkan pimpinan karena kursi terbanyak. Ini menimbulkan perlakuan yang berbeda," ujarnya.
Kedua, pasal-pasal terkait DPR yang dianggap bisa mengkriminalisasikan masyarakat. Bahkan, meminta polisi untuk memaksa serta memproteksi anggota DPR secara berlebihan.
Baca: UU MD3 Berlaku, Zulkifli Hasan Ungkap Tiga Pimpinan MPR yang Baru
Pasal 122, misalnya, menyatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap perorangan, kelompok, atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. Ada juga pasal 73 yang menyebutkan DPR berhak memanggil paksa hingga melakukan penyanderaan melalui kepolisian
DPR juga memasukkan pasal yang memperkuat imunitas anggota dewan terhadap hukum. Pasal 245 menyebutkan pemeriksaan anggota DPR dalam tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD.
"Ini merusak paradigma bernegara kita. Kenapa? Mereka wakil rakyat. Seharusnya mereka mewakili kepentingan masyarakat dalam kaitannya dengan hubungannya dengan eksekutif atau agar presiden bekerja baik untuk masyarakat. Tidak muncul sebagai yang otoriter," kata Refly.
Refly pun menilai UU MD3 bukannya membuat kinerja DPR lebih efektif terhadap presiden atau eksekutif, melainkan sebaliknya. Selain itu, partai seolah membentengi dirinya di satu sisi dan berpikir bisa menyerang masyarakat. "Apalagi pasal-pasal yang bisa (dianggap) merendahkan (DPR), tidak ada ukurannya," ujarnya.
Presiden Jokowi memutuskan untuk menolak menandatangani UU MD3 karena melihat gejolak di masyarakat. Ia pun mempersilakan bagi masyarakat yang hendak melakukan uji materi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi.