TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menyayangkan adanya penambahan kursi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Penambahan kursi tersebut tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
"Kalau saya melihat ini, benar-benar seperti bagi-bagi (kekuasaan). Tentu ini praktik yang mesti disayangkan juga, tapi memang jamak terjadi," kata Bivitri di STHI Jentera, Jakarta Selatan, Jumat, 9 Februari 2018.
Baca juga: DPR dan Menkumham Gelar Rapat Bahas UU MD3
Bivitri mengatakan model bagi-bagi kekuasaan yang dikeluarkan DPR memang biasa terjadi menjelang pemilihan umum. Ia mengungkapkan hal tersebut sangat jelas menunjukkan adanya kepentingan untuk pemilu.
Selain itu, kata Bivitri, DPR mensyaratkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berkonsultasi dengan Dewan dalam mengeluarkan kebijakan. "Jadi DPR masih punya posisi strategis. Mereka punya nilai strategis dalam kebijakan-kebijakan, misal anggaran, rapat kerja, KPU, Bawaslu, itu besar pengaruhnya," ujarnya.
Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati adanya penambahan kursi pimpinan DPR, MPR, dan DPD dalam revisi UU MD3. Rinciannya, 1 kursi pimpinan DPR, 3 kursi pimpinan MPR, dan 1 kursi pimpinan DPD.
Baca juga: Bambang Soesatyo: Pemerintah Setuju Revisi UU MD3
Kendati telah disepakati jumlahnya, Baleg masih melanjutkan pembahasan mengenai penambahan kursi pimpinan MPR untuk mendapatkan titik temu. Selain itu, Baleg menyepakati penempatan kursi pimpinan MPR dan DPR dalam pemilu 2019 nanti menggunakan sistem paket. Artinya, kursi pimpinan akan diduduki partai pemenang pemilu.