TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman, Kiai Haji Abdul Muhaimin menyebut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengalami disorientasi ihwal Yogyakarta sebagai kota multikultur.
Kiai Muhaimin mengkritik keras Sultan yang menyatakan pengemasan bakti sosial Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Bantul kurang tepat karena mengatasnamakan gereja. Pernyataan itu, kata Muhaimin menggambarkan Sultan kehilangan orientasi terhadap Yogyakarta yang selama ini punya julukan Jogja berhati nyaman atau Jogja city of tolerance. “Sultan disorientasi terhadap eksistensi Yogyakarta secara faktual maupun historis,” kata Muhaimin kepada Tempo ditemui di Pondok Pesantren Putri Nurul Umahat, Prenggan, Kotagede, Jumat, 2 Februari 2018.
Baca: Pernyataan Sri Sultan soal Baksos Gereja Dianggap Bermasalah
Muhaimin merupakan satu di antara tokoh yang mengusung nilai-nilai toleransi antar-umat beragama. Ia merupakan salah satu di antara tokoh yang menginisiasi Jogja city of tolerance. Sebutan Jogja berhati nyaman tergerus dengan maraknya aksi intoleransi dalam beberapa tahun terakhir. Yogyakarta dikenal dengan masyarakatnya yang heterogen sebagai miniatur Indonesia.
Organisasi masyarakat yang melakukan aksi intoleransi, kata Muhaimin merupakan kalangan yang membajak Islam. Dia menyebut kelompok-kelompok itu tidak punya pengetahuan atau kapasitas yang cukup tentang Islam. Mereka melakukan penyimpangan terhadap konsep agama Islam yang ramah dan menghargai pluralisme. “Mereka terjebak pada simbolisme agama dan kehilangan substansi Islam,” kata Muhaimin.
Ia juga menyentil polisi yang kalah dengan kelompok-kelompok intoleran. Padahal, negara punya alat yang cukup untuk mengatasi mereka. Bila polisi tegas, maka kelompok-kelompok itu akan jera dan tidak mengulangi aksinya. Muhaimin mengamati orang-orang yang melakukan aksi intoleransi kebanyakan orang yang sama. Aksi-aksi intoleran lainnya sebelumnya juga banyak terjadi di Bantul.
Baca: Baksos Gereja Ditolak Ormas, MUI: Bukan karena Anti-Kristiani
Kelompok-kelompok ini sekarang semakin banyak menyusup ke kampung-kampung,. Dampaknya adalah persekusi yang bisa menimpa siapa saja dan mengoyak keberagaman dalam masyarakat. “Mereka jumlahnya kecil dan membajak Islam,” kata Muhaimin.
Bakti Sosial Gereja Santo Paulus itu batal digelar pada Selasa 30 Januari 2018. Baksos tersebut digelar setelah pada Ahad pagi, 28 Januari 2018 sejumlah pemuda masjid dan organisasi masyarakat yang mengatasnamakan umat Islam menolak baksos tersebut dengan alasan kristenisasi.
Semula bakti sosial akan berlangsung di rumah Kasmijo, Kepala Dusun Jaranan, Banguntapan. Kegiatan itu rangkaian peringatan 32 tahun berdirinya gereja sekaligus peresmian paroki dari paroki administratif menjadi paroki mandiri.
Namun, Ahad pagi, 28 Januari 2018, sejumlah pemuda masjid dan ormas yang mengatasnamakan Islam mendatangi bakti sosial yang baru akan dimulai pagi itu. Di antaranya Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin Indonesia. Demi menjaga suasana dan pertimbangan keamanan, panitia gereja membatalkan bakti sosial.
Mereka menolak bakti sosial dengan alasan kristenisasi dan meminta panitia gereja memindahkan kegiatan itu di gereja. Ada sekitar 50 orang dari ormas yang datang, di antaranya FJI. "Kami datang membantu aparat supaya tidak terjadai konflik horizontal. Baksos seharusnya dilakukan di gereja," kata Komandan FJI ketika dihubungi melalui sambungan telepon.