TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute menyayangkan pernyataan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakatra Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Kepala Kepolisian Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Sahat M. Hasibuan soal pelarangan bakti sosial Gereja Santo Paulus, Bantul, oleh sejumlah organisasi masyarakat. Pernyataan Sultan dan Kapolres dinilai menimbulkan masalah karena dianggap menyalahkan korban.
"Pernyataan Gubernur dan Kapolres tersebut jelas-jelas problematik," kata Peneliti Setara Institute Halili dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 1 Februari 2018.
Baca juga: Baksos Gereja Ditolak Ormas, Sri Sultan: Jangan Bawa Nama Gereja
Dalam pernyataannya, Sri Sultan Hamengkubuwono X menyebut baksos semestinya tidak mengatasnamakan gereja karena berpotensi memunculkan persepsi lain. Sementara Sahat mengatakan penolakan oleh ormas terjadi karena kurangnya komunikasi pihak gereja dengan masyarakat.
Halili mengatakan kedua pernyataan tersebut terkesan menyalahkan korban. Pola blaming the victim ini, kata Halili, biasa digunakan pemerintah dan aparat dalam merespons kasus intoleransi, dekriminalisasi, serta pelanggaran hak minoritas keagaaman.
Ia juga menganggap pernyataan tersebut menunjukkan kecenderungan negara terhadap kelompok warga tertentu dan penyingkiran kelompok lainnya.
Bakti sosial oleh Gereja Santo Paulus merupakan rangkaian dari peringatan 32 tahun berdirinya gereja sekaligus peresmian paroki dari paroki administratif menjadi paroki mandiri. Kegiatan itu direncanakan berlangsung di rumah Kasmijo, Kepala Dusun Jaranan, Banguntapan, Bantul.
Baca juga: Sejumlah Ormas Melarang Bakti Sosial Gereja Santo Paulus Yogya
Namun, Ahad pagi, 28 Januari 2018, sejumlah pemuda masjid dan ormas yang mengatasnamakan Islam mendatangi bakti sosial yang baru akan dimulai. Di antaranya Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin Indonesia. Mereka menuding acara tersebut bagian dari kristenisasi.
Meski begitu, Halili mengatakan Setara mengapresiasi pernyataan Bupati bantul, Suharsono yang dianggap menunjukkan sikap toleransi dan kebhinekaan. Suharsono, kata Halili, mengatakan tidak bisa suatu ormas melarang kegiatan dari agama yang diakui, sepanjang tidak melanggar aturan.