TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa dugaan suap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Sadli mengaku tak berwenang menentukan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) tahun 2016. Karena itu, menurut Ali, ada atau tidaknya uang suap tidak akan berpengaruh pada status laporan keuangan Kemendes PDTT.
"Ada atau tidak ada uang, opini Kemendes PDTT tetap WTP," kata Ali di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat pada Jumat, 2 Februari 2018.
Baca: Sidang Suap BPK, Jaksa Fokus Buktikan Keterlibatan Rochmadi Saptogiri
Ali Sadli menjalani sidang lanjutan hari ini dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi beberapa hal, salah satunya ihwal laporan harta kekayaan Ali.
Menurut Ali, pihak yang berwenang menentukan status laporan keuangan Kemendes adalah tim preview BPK. Sebagai bekas Kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara BPK, Ali memaparkan kewenangannya ada di bagian laporan, penghitungan, dan pengambil kesimpulan. "Pak Rochmadi sama juga tidak punya kewenangan, tapi beliau bisa menunjuk tim review. Kalau saya tidak," ujarnya.
Adapun Ali menyatakan dipaksa untuk menerima uang Rp 40 juta dari Kemendes. Uang itu merupakan hasil patungan para pejabat Kemendes yang diduga ditujukan untuk memperoleh opini WTP dari BPK.
Baca: Sidang Suap BPK, Saksi Akui Ada Titipan Uang dari Kemendes PDTT
Bersama Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Rochmadi Saptogiri, Ali didakwa sebagai penerima suap dan gratifikasi dari pejabat Kemendes PDTT. Suap diberikan terkait pemberian opini WTP oleh BPK dalam laporan keuangan Kemendes PDTT tahun 2016. Ali disebut menerima suap sebesar Rp 40 juta dan gratifikasi sebesar Rp 11,6 miliar
Selain dijerat dengan pasal penerimaan suap, keduanya juga dijerat dengan pasal pencucian uang. Ali dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Pencucian Uang, sedangkan Rochmadi dengan Pasal 3 dan/atau Pasal 5 UU yang sama.
Jaksa KPK juga mendakwa Ali telah melakukan pencucian uang berupa pembelian sejumlah aset berupa tanah hingga kendaraan bermotor. Salah satu contohnya, Ali diduga membeli sebidang tanah kavling seluas 258 meter persegi di Kompleks Kebayoran Symphoni Blok KM/A-19 Kelurahan Pondok Jaya Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan dari PT Jaya Real Properti.
Pembayaran dilakukan oleh istri Ali, Wuryanti Yustianti dalam kurun waktu Juni 2016 hingga April 2017, dengan total sekitar Rp 3,9 miliar. Uang untuk pembelian ini diduga berasal dari tindak pidana gratifikasi yang dilakukan oleh auditor BPK itu.