TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD enggan mengomentari desakan mundur dari sejumlah pihak terhadap Ketua MK Arief Hidayat. Arief didesak mundur karena kasus pelanggaran etik.
"Saya sebagai mantan Ketua MK punya tepa selira (tenggang rasa) untuk tidak berbicara, apalagi mendiskreditkan Ketua MK yang saat ini sedang diminta pertanggungjawaban etiknya oleh masyarakat," kata Mahfud di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis, 1 Februari 2018.
Baca: Laporkan Arief Hidayat ke Dewan Etik, Peneliti MK Dibebastugaskan
Kendati enggan memberikan komentar spesifik mengenai Arief Hidayat, Mahfud memberikan contoh kasus pelanggaran etik seorang hakim konstitusi Arsyad Sanusi. Saat Mahfud masih menjabat Ketua MK, Arsyad dituduh melanggar kode etik karena anaknya menerima tamu seseorang yang sedang memiliki perkara di MK di kediaman Arsyad.
"Karena anaknya menerima tamu itu di rumahnya, meskipun tidak tahu, dia (Arsyad) mendapatkan teguran. Lalu dia langsung mengundurkan diri sebagai tanggung jawab moral. Dalam hal ini, saya tidak akan mendorong Pak Arief berbuat apa-apa. Itu tanggung jawab moral masing-masing," kata dia.
Mahfud mengatakan untuk menjaga profesionalitas serta marwah MK, saat menjabat Ketua MK ia menghindari hal-hal yang berkaitan dengan surat titipan atau katebelece. Bahkan, Mahfud mengaku pernah mencoret lamaran keponakan kandungnya untuk menjadi pegawai di MK yang saat itu dia pimpin.
Simak: Arief Hidayat Diminta Mundur, Pengamat: Menjaga Marwah MK
"Meskipun dia lulus tes, saya coret, tidak boleh. Saya suruh cari kerja di tempat yang lain jangan di tempat om-nya. Maksud saya bahwa urusan katebelece menjadi perhatian saya," kata dia.
Sebagai mantan Ketua MK Mahfud berharap seluruh hakim MK mampu menjaga marwah serta kewibawaan lembaganya. "Sebagai mantan Ketua MK saya ingin MK tetap dijaga dengan baik," kata dia.
Lihat: ICW Desak Ketua MK Arief Hidayat Segera Mengundurkan Diri
Ketua MK, Arief Hidayat telah dua kali terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Pada 2016, Arief pernah mendapatkan sanksi berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK. Pemberian sanksi itu karena Arief dianggap membuat surat titipan atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk "membina" atau memberikan posisi kepada seorang kerabatnya.
Pelanggaran kedua, yakni Arief terbukti melakukan pertemuan dengan sejumlah Pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Arief diduga melobi dewan agar bisa maju sebagai calon tunggal hakim konstitusi.