TEMPO.CO, Jakarta - Sidang lanjutan terdakwa dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) Setya Novanto kembali digelar hari ini, Kamis, 25 Januari 2018. Dalam sidang, jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan menghadirkan lima saksi.
Dua di antaranya adalah pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto. Irman dan Sugiharto telah divonis bersalah dan terbukti terlibat korupsi proyek e-KTP.
Baca juga: Nama Besar di Kasus E-KTP, Begini Sepak Terjang Mirwan Amir
Selain itu, hadir juga mantan Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2010-2012 Mirwan Amir. Ia juga mantan politikus dari Partai Demokrat.
Nama Mirwan disebut-sebut menerima uang senilai US$ 1,2 juta. Uang diduga berasal dari Direktur PT Cahaya Wijaya Kusuma Andi Agustinus. Dalam proyek e-KTP, Andi diduga bertugas sebagai penyalur dana.
Dua saksi lainnya, yakni pengusaha bernama Yusnan Solihin dan Direktur PT Data Aksara Matra, Aditya Priyadi. Yusnan mengaku bersahabat dengan Mirwan.
Ia pun meminta Mirwan untuk menanyakan kepada Setya Novanto apakah program pengadaan e-KTP benar-benar ada. Yusnan mengaku disarankan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong untuk mengonfirmasi kebenaran proyek itu kepada Setya.
"Saya tahu proyek e-KTP dari pak Andi," kata Yusnan dalam keterangannya sebagai saksi di sidang Setya, Kamis.
Sidang dimulai sekitar pukul 10.24 WIB. Setya sendiri memasuki ruang sidang 20 menit sebelum sidang berlangsung.
Hingga saat ini, sidang dengan agenda pemeriksaan saksi masih berjalan. Hakim memutuskan untuk mendengarkan keterangan tiga saksi terlebih dulu, yakni Mirwan, Yusnan, dan Aditya.
Sidang perdana pokok perkara mantan ketua DPR ini berlangsung pada 13 Desember 2017. Adapun sidang pemeriksaan saksi dimulai pada Kamis, 11 Januari 2018.
Setya disebut menerima dana sebesar US$ 7,3 juta. Selain uang dia juga diduga menerima jam tangan merek Richard Mille seharga US$ 135 ribu.
"Beliau tidak tahu yang diterangkan oleh para saksi," ujar Maqdir.
Setya Novanto diduga berperan dalam meloloskan anggaran proyek e-KTP di DPR pada 2010 saat masih menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Dia didakwa menerima aliran dana sebesar US$ 7,3 sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun. Karenanya, ia didakwa melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tentang Tindak Pidana Korupsi.