TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong, menjalani sidang pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Dalam nota pembelaannya, Andi membantah tuduhan sebagai orang yang mengatur pertemuan dengan Setya Novanto untuk memuluskan proyek e-KTP.
Pertemuan dengan Setya Novanto disebut atas permintaan mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman. "Bahwa saksi Irman yang minta kepada terdakwa untuk dipertemukan dengan Setya Novanto," kata pengacara Andi, Dorel Almir, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis, 14 Desember 2017.
Irman meminta Andi karena ia dianggap memiliki kedekatan dengan Setya Novanto. Dorel mengatakan kliennya kemudian menuruti permintaan tersebut karena memang memiliki keinginan mendapat pekerjaan dalam proyek e-KTP. "Terdakwa punya kepentingan untuk mendapat pekerjaan dalam proyek e-KTP," ucap Dorel.
Baca: Pengacara Setya Novanto: Pemutaran Video Sidang Andi Narogong Tak Relevan
Pertemuan pertama berlangsung di Gran Melia, Jakarta Selatan, sekitar Februari 2010. Setya Novanto, yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan memberi dukungan atas proyek e-KTP. Setelah pertemuan itu, Irman disebut meminta Andi terus mem-follow up dukungan Setya. "Jadi tidak benar bahwa terdakwa adalah orang yang mengatur pertemuan tersebut," kata Dorel.
Jaksa penuntut umum KPK menuntut Andi Narogong dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan pada Kamis, 7 Desember 2017. Jaksa menilai Andi terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan dakwaan kedua.
Dalam proyek e-KTP, Andi dituntut bersalah karena menyalahgunakan wewenang Setya Novanto, yang menjabat Ketua Fraksi Golkar ketika proyek ini digagas pada 2010-2011. Setya sendiri disebut mendapat uang US$ 7,3 juta serta jam tangan merek Richard Mile senilai US$ 135 ribu atas perannya dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Baca: Dituntut 8 Tahun, Andi Narogong Berstatus Justice Collaborator
Selain itu, jaksa menyebut Andi memanfaatkan kedekatannya dengan para pejabat Kementerian Dalam Negeri. Bersama dengan mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan, Sugiharto, Andi mengatur pemenangan tender proyek e-KTP. Proses lelang dan pengadaan dalam proyek e-KTP diatur oleh Irman dan Sugiharto, kemudian diinisiasi oleh Andi, yang membentuk tim Fatmawati.
Jaksa turut menyebut beberapa anggota tim Fatmawati mendapatkan fee dari proyek tersebut. Mereka adalah Jimmy Iskandar, Eko Purnomo, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan, masing-masing menerima Rp 60 juta.
Andi juga merupakan aktor yang membentuk konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), Astagraphia, dan Murakabi Sejahtera. Dia kemudian mengarahkan pemenang proyek e-KTP kepada PNRI. Konsorsium PNRI sendiri terdiri atas PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra.
Dalam sidang tuntutan, jaksa turut mempertimbangkan status justice collaborator yang diterima Andi sebagai hal-hal yang meringankan. Status justice collaborator diterima Andi karena sikap blakblakan-nya tentang proses kongkalikong dalam korupsi yang telah merugikan negara Rp 2,3 triliun tersebut.
Andi Narogong ditetapkan sebagai tersangka korupsi e-KTP oleh KPK pada 23 Maret 2017. Pria yang memiliki usaha konfeksi di Jalan Narogong, Bekasi itu adalah tersangka ketiga setelah Irman dan Sugiharto.