TEMPO.CO, Medan - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak kekerasan (Kontras) Sumatera Utara mengungkapkan bahwa aparat keamanan negara diduga menjadi aktor dominan atas kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Sumatera Utara pada 2017.
Dari total 118 kasus yang terjadi, 59 diantaranya berhubungan langsung kepolisian dan TNI. "Kepolisian terlibat dalam 39 kasus dan TNI sebanyak 20 kasus. Totalnya 59 kasus pelanggaran HAM yang melibatkan pihak kepolisian dan TNI di Sumut yang kami catat", ungkap Koordinator Badan Pekerja Kontras Sumatera Utara, Amin Multazam, dalam rilis pers yang diterima Tempo pada Sabtu, 9 Desember 2017.
Baca juga: Kontras Minta Penyanderaan di Papua Ditangani Secara Persuasif
Dari berbagai tindak pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan, KontraS menyoroti praktek penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan aparat. Terbukti dengan sembilan kasus mengenai tindakan penyiksaan dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh kepolisian.
Salah satunya seperti yang dialami Rifzal Riandi Siregar yang meninggal didalam tahanan Polsek Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Rifzal yang ditahan selama seminggu karena berselisih dengan anggota polisi, diduga mengalami penyiksaan didalam tahanan. Sampai pada saat korban meninggal dengan cara gantung diri (versi kepolisian).
Bahkan kepada Kontras, keluarga mengaku proses otopsi yang dilakukan juga ditutup-tutupi oleh kepolisian. Terbukti dengan hasil otopsi yang sempat tidak diberikan kepada keluarga.
"Kecurigaan keluarga juga semakin kuat waktu Kapolsek Batang Toru pindah tugas ke tempat lain. Keluarga makin curiga karena kasus ini sempat heboh di sana, terus Kapolseknya dimutasi di tengah-tengah bergulirnya kasus Rifzal", kata Amin.
Tidak berbeda jauh, TNI juga diduga ikut menjadi pihak yang berperan menjadikan aparat keamanan memuncaki aktor pelanggaran HAM di Sumatera Utara. Contohnya kasus sengketa tanah antara pemilik lahan di Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Deliserdang dengan TNI AL Lantamal 1 Belawan.
Lahan masyarakat desa tersebut diambil secara paksa oleh pihak TNI AL Lantamal 1 Belawan pada medio Februari 2017. Lantamal 1 Belawan mengklaim lahan seluas 117 hektar tersebut sebagai miliknya dan diduga melakukan pengrusakan terhadap lahan tersebut.
Baca juga: KontraS: Panglima TNI Terlibat Politik Akibat Sipil Lemah
Bahkan tidak hanya merusak lahan, seperti dikutip dari pemberitaan Tempo.co pada 11 april yang lalu, dalam persidangan yang dilaksanakan pada Maret 2017, anggota TNI AL diduga melakukan intimidasi terhadap salah seorang pemilik lahan bernama Ludik Simanjuntak. "Habis dibaca putusan mereka mulai tendang-tendang kursi. Saya sampai berlindung dibalik hakim, terus sembunyi dilantai 3 PN," ujar Ludik di Kantor Kontras dalam konferensi pers kala itu.
Menurut Kontras, fakta ini menjadi gambaran bahwa aparat keamanan tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya secara benar. "Aparat keamanan senantiasa melakukan tindakan kekerasan dan arogansi dalam menyelesaikan permasalahan. Tentunya hal ini membuat kita miris, aparat yang harusnya menjadi pelindung masyarakat malah sebagai aktor dominan pelanggaran HAM di Sumut", sambung Amin.
Karena itu Kontras berharap jika ke depannya aparat keamanan mampu mengembalikan citra aparat sebagai pelindung masyarakat. Jangan sampai penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan negara kembali menjadi salah satu pelanggaran HAM yang menonjol di Sumatera Utara pada tahun-tahun berikutnya.