TEMPO.CO, Jakarta- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsudin mengungkapkan kekecewaan dan penolakannya atas putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi Undang-undang Administrasi Keputusan tentang kolom agama di KTP. Putusan itu mengizinkan para penghayat kepercayaan untuk mencantumkan aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP.
Din menyebut MK seolah-olah membahas Undang-undang tersebut tanpa mengundang DPR atau Pemerintah melalui kementerian terkait. "Dibahas oleh MK nyaris secara diam-diam dan tidak mengundang pihak-pihak yang seyogyanya diundang," kata dia setelah rapat pleno Dewan Pertimbangan MUI, Jakarta Pusat pada Rabu, 22 November 2017.
Baca: MUI Tolak Putusan MK Soal Aliran Kepercayaan di Kolom Agama KTP
Menurut Din, MK sudah melakukan distorsi dan deviasi terhadap tafsir dari konstitusi. Meskipun diakui Din, MK memiliki kewenangan memberikan tafsir secara historis dan konstitusional.
"Memang MK memilki kewenangan untuk memberikan tafsir, bahkan putusannya final dan mengikat. Tapi tidak bisa semena-mena memberikan tafsir yang bertentangan dengan kesepakatan nasional yang ada," kata Din.
Baca: Penganut Aliran Kepercayaan Sambut Gembira Putusan MK
Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini berpendapat penafsiran ini seharusnya mengacu pada Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1978 yang menyebut bahwa agama dan aliran kepercayaan itu berbeda dan tidak bisa disamakan. Dengan dikabulkannya uji materi yang dikabulkan MK tersebut membuktikan bahwa adanya perbedaan tafsir dari apa yang sudah disepakati secara nasional selama ini. "Hal tersebut berbahaya bagi kehidupan nasional," ujarnya.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk pada 7 November 2017. Gugatan itu diajukan oleh beberapa penghayat kepercayaan. Selama ini, kolom agama di KTP mereka dikosongkan atau terpaksa diisi salah satu agama.