TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 25 lembaga non pemerintah di Papua yang menamakan diri Koalisi masyarakat sipil untuk penegakan hukum dan HAM Papua mengeluarkan pernyataan bersama hari ini terkait dengan penyanderaan di Kampung Banti, Kimbeli, Utikini dan sekitarnya, yang semuanya masuk wilayah pertambangan PT. Freeport Indonesia.
Ada 4 tuntutan atau desakan yang mereka sampaikan kepada aparat TNI, Polri, jurnalis, media masa, Dewan Pers, dan PT. Freeport Indonesia untuk segera dilaksanakan.
Baca: Persoalan Baru Muncul Pasca Pembebasan Warga Mimika Papua
Pertama, TNI dan Polri diminta untuk tidak menyebarkan informasi tanpa bukti dan fakta yang jelas berkaitan dengan konflik kekerasan bersenjata di Tembagapura.
Kedua, jurnalis dan media massa dan pers nasional didesak untuk menjalankan prinsip-prinsip kemerdekaan pers secara bertanggung jawab dengan mematuhi kode etika jurnalistik, terutama melakukan verifikasi terhadap setiap informasi yang diterima.
Ketiga, jurnalis, media massa dan pers nasional dalam melakukan liputan diminta untuk menghargai hak warga sipil, baik yang dievakuasi maupun warga asli yang secara sukarela meninggalkan kampung Banti, Kimbeli, dan Utikini.
Baca: Pengejaran Pelaku Penyanderaan di Papua Tetap Dilanjutkan
Dan terakhir, PT. Freeport Indonesia didesak untuk segera menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di Kampung Banti, Kimbeli, Utikini dan sekitarnya. Kampung-kampung itu berada di wilayah pertambangan PT. Freeport Indonesia yang notabene berada dalam tanggung jawab Freeport Indonesia.
Koalisi ini prihatin dengan peristiwa yang dipicu pertengahan Oktober 2017 ketika terjadi serangkaian penembakan di kampung Banti, Kimbeli, dan Utikini__areal pertambangan PT Freeport Indonesia__ yang mengakibatkan korban jatuh di pihak aparat polisi dan masyarakat sipil.
Peristiwa ini mengundang reaksi dari pemerintah Jakarta seperti DPR, Panglima TNI, Kapolri, dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM.
Baca: Penyanderaan di Papua, Wiranto: Akan Ada Operasi Lanjutan
"Puncak dari reaksi ini adalah proses evakuasi sekitar 300an warga non-Papua di Kampung Banti yang disebut sebagai penyanderaan, yang didahului oleh penyerbuan TNI ke Kampung Banti dan Kimbeli," ujar Yuliana Langowuyo, SKPKC Fransiskan Papua, sebagai juru bicara Koalisi dalam pernyataannya yang diterima Tempo, siang ini, 22 November 2017.
Koalisi mencermati bahwa insiden penembakan di kawasan PT Freeport Indonesia selalu mendapat porsi besar dalam pemberitaan media nasional. Namun sayangnya pemberitaan media tidak disertai dengan kepatuhan pada UU Pers dan Kode Etika Jurnalis yang diterbitkan oleh Dewan Pers.
Penggunaan kata "penyanderaan" tanpa disadari media massa telah berdampak negatif pada mahasiswa Papua yang sedang menuntut ilmu di beberapa kota di Bandung, Jember dan terutama di Makassar.
"Mahasiswa Papua di kota-kota tersebut mengalami intimidasi oleh masyarakat setempat karena berita penyanderaan yang disiarkan media massa. Padahal penyanderaan yang diberitakan oleh media massa hanya berdasarkan informasi sepihak dari kepolisian tanpa proses verifikasi," ujar Yuliana.
Baca: Kasus Penyanderaan Warga Mimika, Jokowi Diminta Segera Bertindak
Dalam satu wawancara dengan media internasional, masyarakat sipil Banti malah mengatakan mereka tidak dalam situasi disandera. Mereka bebas beraktivitas seperti biasa. Namun, jika mereka berniat keluar kampung, keamanan mereak tidak dijamin oleh kelompok yang dituduh sebagai penyandera maupun aparat keamanan Indonesia yang berada di sekitar Banti dan Kimbeli.
Di lain sisi, ujar Koalisi dalam pernyataannya, kepolisian resort Mimika menolak kata "penyanderaan" tentang situasi di Kampung Banti dan Kimberli. Kepolisian ini memilih kata "terisolasi."
Dalam hal penyanderaan, menurut Koalisi, selalu diikuti dengan tuntutan. Namun dalm kasus Kampung Banti dan Kimbeli, tidak ada satu pun tuntutan keluar dari kelompok yang dituduh menyandera.
Hal lain yang dipertanyakan tentang arti penyanderaan ini, menurut Yulia, adalah kampung yang penduduknya disebut disandera merupakan kawasan tertutup yang sulit diakses masyarakat sipil, atau pihak yang dianggap musuh aparat.
"Jadi sebenarnya banyak pertanyaan yang masih harus dicari jawabannya," ujarnya.
Koalisi masyarakat sipil Papua yang mengeluarkan pernyataan pers ini di antaranya SKPKC Fransiskan Papua, ALDP, Vivat Internasional, Elsham Papua, Ilalang Papua, Jerat Papua, PT Jubi, LBH APIK Jayapura, Perkumpulan Pengacara HAM untuk Papua, PMKRI, HMI, GMKI, dan Tim Peduli Kesehatan dan Pendidikan Papua.