TEMPO.CO, Pangkalpinang - Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Kiai Haji Salahuddin Wahid angkat bicara soal pro-kontra putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan penghayat aliran kepercayaan masuk di Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan masuk dalam kolom kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Gus Solah mengatakan keputusan tersebut memang menimbulkan masalah karena mendapat penolakan dari Majelis Ulama Indonsia (MUI) dan Partai Islam. Untuk itu dia meminta agar putusan tersebut tidak sampai menimbulkan dampak negatif di tengah masyarakat.
Baca: Ketua MK: Kolom Agama KTP Penghayat Bisa Diisi Aliran Kepercayaan
"Masalah karena MUI dan organisasi Islam keberatan. Sekarang, kita hanya mencegah agar putusan itu tidak sampai menimbulkan konflik. Kalau bicara pro-kontra itu sudah lewat karena sudah diputuskan oleh MK," ujar Gus Solah kepada wartawan usai seminar wawasan kebangsaan "Merajut Kebersamaan dan Kebhinekaan dalam Penguatan Persatuan dan Kesatuan NKRI" di Graha Timah Pangkalpinang, Jumat, 17 November 2017.
Gus Solah menuturkan, sebelum terbitnya keputusan MK tersebut, tidak ada persoalan karena penghayat aliran kepercayaan sudah diminta untuk mengambil salah satu agama yang ada untuk dicantumkan di dalam kolom KTP. Hal inilah yang dikhawatirkannya bisa menimbulkan konflik baru ditengah masyarakat.
"Saya tidak mengetahui apakah dalam pengambilan keputusan, MK meminta pendapat MUI apa tidak. Karena ini sudah diputuskan, sebaiknya kita bersama mencegah agar tidak ada konflik baru lagi," ujar dia.
Baca: MUI Tolak Putusan MK Soal Aliran Kepercayaan di Kolom Agama KTP
MK mengabulkan gugatan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di kartu tanda penduduk. Hal ini membuat para penganut kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama saat membuat KTP.
Ketua MK, Arief Hidayat, mengatakan pihaknya mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. "Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," katanya dalam pembacaan putusannya di Gedung MK, Selasa, 7 November 2017.