TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera, Deniarto Suhartono, membeberkan sejumlah kekeliruan dalam pengelolaan perusahaan peserta tender proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Salah satunya pencatutan nama sekretaris Setya Novanto, Kartika Wulansari, sebagai salah seorang pegawai perusahaan.
Deniarto mengaku mengenal Kartika sebagai sekretaris Setya. “Tapi bukan pegawai Murakabi,” ujarnya saat bersaksi di sidang lanjutan perkara e-KTP untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, pada Senin, 6 November 2017.
Baca: Cerita Dirut Murakabi Bisa Ikut Tender Proyek E-KTP
Murakabi merupakan salah satu peserta proyek tender e-KTP. Keikutsertaan Murakabi dalam tender proyek e-KTP pada 2011 disinyalir sebagai kongkalikong dan bagian dari rekayasa tender yang telah diatur bakal memenangi konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia. Keponakan Setya Novanto, Irvanto, merupakan Direktur Operasional Murakabi. Sedangkan putri Setya, Dwina Michaella, pernah menjadi Komisaris Murakabi.
Sebanyak 42,5 persen saham Murakabi dimiliki Modialindo Graha Perdana. Sedangkan 80 persen saham Mondialindo dikuasai anak dan istri Setya Novanto, masing-masing 50 dan 30 persen. Setya pun pernah menjadi Komisaris Mondialindo sekitar tahun 2000 hingga 2002.
Baca: Nama Sekretaris Setya Novanto Disebut di Sidang E-KTP
Deniarto mengatakan kepada jaksa bahwa Kartika pernah dimintai tolong terkait dengan proyek pengadaan bahan baku surat izin mengemudi (SIM) di Direktorat Kepolisian Daerah Polda Metro yang digarap Murakabi pada 2007. Kemudian jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdul Basir, menunjukkan sebuah dokumen yang berisi daftar nama pegawai Murakabi. Puluhan nama tampak tercantum dalam dokumen tersebut, termasuk nama Kartika. Padahal Deniarto mengaku hanya memiliki dua karyawan, yaitu Tri Anugerah Ipung sebagai pegawai administrasi, dan Sodri sebagai office boy.
Deniarto mengakui bahwa nama-nama itu sengaja dimasukkan sebagai pegawai Murakabi. Jaksa pun tampak kesal. “Ini sudah pelanggaran administrasi,” ujarnya.
Keterangan ini justru menguatkan pengakuan Deniarto sebelumnya. Di persidangan yang sama, ia mengaku telah menjadi direktur utama di 14 perusahaan sejak 2003, termasuk di Murakabi dan Mondialindo.
Sebanyak 14 perusahaan itu menempati tempat yang sama, yaitu lantai 27 Menara Imperium, Jakarta Selatan. Menara ini dimiliki Setya Novanto. Berdasarkan pengalamannya selama ini, kata Deniarto, setiap perusahaan baru dibentuk ketika akan mengikuti proyek. Kepada majelis hakim, ia mengakui dokumen tender yang diajukan perusahaan sudah dikarang sebelumnya, baik kapasitas kantor maupun jumlah pegawai.