TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan masih terlalu dini membicarakan bakal calon wakil presiden yang cocok untuk mendampingi Joko Widodo atau Jokowi dalam pemilihan presiden 2019.
"Masih terlalu dini. Proses kaderisasi muncul tak hanya di dalam partai, tapi juga di luar partai," katanya di kantor Dewan Pengurus Pusat PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 28 Oktober 2017.
Baca: Dukung UU Ormas, PDIP Tak Khawatir Hilangnya Pemilih Muslim
Meski demikian, Hasto menyampaikan kriteria bakal cawapres yang diperlukan untuk mendampingi Jokowi. Yang utama, kata Hasto, wapres haruslah dapat bekerja sama dengan presiden.
"Wakil kan membantu presiden. Jangan wapres punya politik yang berbeda dengan presidennya," ujarnya.
Hasto mencontohkan Megawati Sukarnoputri dan Hamzah Haz ketika dipasangkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 2001. Hamzah merupakan politikus Partai Persatuan Pembangunan.
"Partainya berbeda, tapi mereka menilai pentingnya kesatupaduan negara ini," ucapnya.
Baca: PDIP Buka Peluang Koalisi dengan PKS dalam Pilgub Jabar
Hasto menceritakan, ketika itu, Megawati dan Hamzah kompak serta menyepakati kode-kode tertentu sebelum mengambil keputusan dalam sidang kabinet.
"Pak Hamzah, kalo saya mengambil putusan dalam sidang kabinet, sebelum palu saya ketuk, kalau Pak Hamzah ada tidak setuju, tolong pegang tangan saya," tuturnya menirukan Megawati.
Permintaan Megawati itu menjadi bentuk sinyal di antara keduanya. Kendati keputusan hampir final, kata Hasto, Megawati akan urung mengetuk palu jika Hamzah menunjukkan sinyal tidak sepakat.
"Wapres membantu presiden menjabarkan politik pembangunan dari presiden itu," katanya.
Ketika ditanyai soal relasi Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla berdasarkan kriteria yang dia sebutkan, Hasto irit bicara. "Itu teman-teman saja yang melihat, harus tanya rakyat," ujarnya.