TEMPO.CO, YOGYAKARTA-- Busyro Muqoddas, mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan fakta mengapa korupsi di Indonesia susah sekali ditekan angkanya. Menurut Busyro, korupsi kian subur karena praktek politik uang dalam Pilkada kian massif. " Sekarang kecil sekali ada Pilkada yang tak ada duit suapnya" kata Busyro di Yogyakarta, Selasa 24 Oktober 2017.
Busyro memaparkan praktek perhelatan pilkada di Indonesia yang masih diwarnai politik uang yang kian masif dan terstruktur. Pelakunya pemodal besar yang mengharapkan pamrih proyek negara di tempat ia mendukung calon kepala daerah yang bertarung dalam pilkada. "Khususnya pemodal yang hobi bermain kotor untuk mendapat proyek," ujar Busyro.
BACA:Tangani Politik Uang, UU Pilkada Perkuat Wewenang Bawaslu
Ia mencontohkan fakta yang ditemukannya di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Pilkada di kabupaten itu menelan biaya politik Rp 52 miliar. Padahal di kabupaten itu tak ada sumber pendanaan daerah yang besar. Busyro lalu mempertanyakan, bagaimana mengembalikan besarnya ongkos politik itu pada pemodal?
"Ternyata pemodal itu akan mendapat prioritas pemegang proyek infrastruktur di kabupaten itu jika jagoannya menang," ujarnya.
BACA; 1000 Laporan Politik Uang dalam Pilkada Serentak
Dari hubungan pemodal dengan kepala daerah terpilih dalam Pilkada itulah Busyro mengatakan segala proyek infrastruktur daerah dipastikan hanya akan menuruti instruksi kepala daerah bersangkutan. Bukan sesuai kebutuhan juga keinginan masyarakat area itu.
Busyro menuturkan perhitungan KPK tahun 2013 silam tentang take home pay seorang kepala daerah tingkat dua tak lebih dari Rp 20 juta per bulan. Jika gaji kepala daerah Rp 20 juta itu dikalikan 12 bulan selama lima tahun sesuai periode menjabat, tetap masih tak cukup membayar biaya politik yang sudah dikeluarkan. "Jadi pantas APBD yang digorok, proyek infrastutur diada-adakan, dan izin - izin ditransaksikan," ujar Busyro.
PRIBADI WICAKSONO