TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 18 orang terpidana mati dieksekusi selama tiga tahun pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kepala Divisi Hukum dan HAM Kontras Arif Nur Fikri mengatakan angka ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya.
“Ini catatan penting bahwa pemerintah Jokowi-JK tidak belajar dari kasus terpidana mati sebelumnya yang sempat ditunda karena ada kesalahan proses penegakan hukum,” kata Arif di kantor Kontras, Kramat II, Jakarta Pusat, Kamis, 19 Oktober 2017.
Baca juga: LBH Masyarakat: Respons Indonesia untuk Soal Hukuman Mati, Buruk
Ia pun menilai ada upaya penggiringan opini publik yang dimainkan pihak kepolisian dan kejaksaan untuk melegitimasi eksekusi terpidana mati tersebut. Menurut dia, penggiringan opini ini mengesampingkan kesalahan prosedur dalam proses hukum terpidana mati tersebut. “Mereka lebih banyak menggiring opini publik terkait dengan tindak kejahatan sehingga membenarkan eksekusi patut dilakukan agar memberikan pembelajaran,” ujarnya.
Sedangkan Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai ada upaya dramatisasi yang dilakukan pemerintah dalam mengeksekusi terpidana mati tiga tahun terakhir. Upaya ini dibarengi dengan usaha menutup tuntutan sejumlah negara agar Indonesia membatalkan eksekusi. “Ada semacam publikasi sehingga ada dramatisasi terhadap nyawa manusia yang dibarengi usaha proteksionis dari tuntutan sejumlah negara,” kata Usman.
Baca juga: Jokowi Pertimbangkan Moratorium Hukuman Mati, Ini Kata Yasonna
Amnesty Internasional Indonesia mencatat eksekusi terpidana mati dilakukan pemerintah pada awal-awal pemerintahan pada Januari 2015. Pemerintah menolak seluruh grasi terpidana mati tersebut. Jumlah ini mendekati total 21 eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2014.
Pada akhir gelombang ke-3 eksekusi mati pada Juli 2016, pelaksanaan eksekusi mati terhadap empat terpidana mati di Pulau Nusa Kambangan, Jawa Tengah. Kejaksaan Agung menangguhkan eksekusi 10 terpidana lainnya dengan alasan memastikan tidak ada kesalahan faktor yuridis dan nonyuridis.