TEMPO.CO, Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat tak puas atas respons Indonesia yang menjalani siklus ketiga Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss. Salah satu yang mereka sesalkan adalah buruknya respons pemerintah RI terhadap rekomendasi mengenai pelaksanaan hukuman mati.
”Indonesia, sebagaimana kami prediksi, masih menggunakan data cacat terkait dengan kematian yang disebabkan oleh narkotik dan retorika moral, untuk menjustifikasi aksi barbar hukuman mati,” ujar Koordinator Program dan Riset LBH Masyarakat, Ajeng Larasati, lewat keterangan tertulis, Kamis, 4 Mei 2017.
Baca juga:
Jokowi Pertimbangkan Moratorium Hukuman Mati, Ini Kata Yasonna
Delegasi Indonesia kembali menggunakan statistik yang menyebut 40 orang meninggal setiap harinya akibat narkotik. Statistik itu, kata Ajeng, mendapat kritik keras dari akademikus Indonesia dan internasional.
”Penggunaan data yang cacat ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap kebijakan yang berbasis bukti,” ujarnya.
LBH Masyarakat pun menyorot argumen delegasi pemerintah RI yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengenai perlindungan HAM. Indonesia, dalam hal ini, menyatakan eksekusi dilakukan setelah melalui prosedur hukum yang ketat.
Silakan baca:
Catatan Penting LBH Masyarakat dari Evaluasi HAM Indonesia di PBB
“Tetapi, persis karena sistem peradilan Indonesia yang sarat dengan korupsi menjadi bagian yang melekat dari persoalan hukuman mati, tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang baik,” ujar Ajeng, yang memantau langsung sidang yang dilaksanakan pada 3 April tersebut.
Dia mengapresiasi munculnya rekomendasi terkait hukuman mati di Indonesia dari 28 negara yang hadir di sidang tersebut. Selain mendukung rekomendasi yang ada, LBH Masyarakat meminta pemerintah memberlakukan moratorium secara formal, dengan tujuan menghapuskan hukuman mati.
”Sementara moratorium diberlakukan, Indonesia harus membentuk badan independen untuk meninjau ulang seluruh kasus hukuman mati,” kata Ajeng.
YOHANES PASKALIS