TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Pemenangan Pemilu Indonesia I DPP Partai Golkar Nusron Wahid mengatakan ada yang salah dalam manajemen pengelolaan partainya. Menurut dia, hal ini membuat banyak kader Golkar menjadi tersangka korupsi.
Karena itu, ia menyarankan perlu ada koreksi total mengenai perilaku politik para kadernya untuk memperbaiki keadaan saat ini. Koreksi tersebut tidak cukup hanya dengan mengganti sosok pemimpin partai. "Yang perlu diganti tidak hanya ketua umum, tapi juga cara pikir dan tujuan berpolitik," katanya saat ditemui di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis, 5 Oktober 2017.
Baca: Kader Golkar Tersangka e-KTP, Nurdin Halid: Ada Dampaknya
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ini berujar, partainya telah mencetak rekor buruk karena tujuh kadernya tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sebulan. "Naudzubillah," ujarnya.
Padahal rakyat Indonesia masih menginginkan partai yang kadernya jauh dari perilaku koruptif. Bila Golkar ingin menarik simpati rakyat itu, ucap Nusron, perlu penerapan clean government di dalam kepengurusannya.
Baca: Survei ini Membuktikan Partai Politik Paling Tidak Dipercaya
Menurut Nusron, banyaknya kader Golkar yang korupsi kemungkinan karena ada biaya politik yang tinggi, seperti mahar, agar bisa dicalonkan sebagai kepala daerah. Padahal Golkar seharusnya tidak meminta iuran apa pun kepada tokoh yang akan diusungnya. "Enggak, enggak ada," tuturnya.
Penyebab lain adalah sifat tamak yang dimiliki para koruptor tersebut yang ingin berlomba memupuk kekayaan dengan memanfaatkan jabatannya. "Partai Golkar harus punya komitmen yang tegas, harus membuat instrumen sistem yang jelas, supaya tidak ada kader yang koruptif. Ini refleksi yang harus kami bangun," katanya.
Salah satu kader Golkar yang menjadi tersangka dugaan korupsi adalah ketua umumnya sendiri, yaitu Setya Novanto. Ia diduga terlibat korupsi e-KTP. Belakangan, status tersangka ini gugur setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilannya.
Elektabilitas Partai Golkar pun terdampak dari banyaknya kader yang menjadi tersangka, termasuk Setya. Itu sebabnya, tim kajian elektabilitas merekomendasikan Setya dinonaktifkan sebagai ketua umum.