TEMPO.CO, YOGYAKARTA -- Sebuah diskusi menarik tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) digelar di Sekretariat Syariat Indonesia di Yogyakarta, Jumat 22 September 2017 lalu. Dalam diskusi yang bertema Jalan Sunyi Penyintas Genosida itu, Ngatiyar, Aktivis LSM Mitra Wacana memaparkan mengapa banyak orang dituding terlibat PKI pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Ngatiyar pernah melakukan riset di sebuah desa di Jawa Tengah pada 2009 dan 2013 untuk tesis S2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kali Jaga Yogyakarta menemukan beberapa alasannya.
BACA: Berapa Sebenarnya Korban Pembantaian Pasca-G30S 1965?
Menurut Ngatiyar, saat peristiwa 1965 meletus, goncangan terjadi di desa-desa yang dianggap basis PKI atau dikenal dengan basis merah. Lantaran banyak penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh PKI, simpatisan PKI, atau pun orang yang tidak mengetahui apa-apa.
Salah satunya sebuah desa di Jawa Tengah yang 80 persen penduduknya menjadi simpatisan PKI masa itu. Desa itu menjadi lokasi riset Ngatiyar. "Sampai sekarang belum jelas siapa sebenarnya yang PKI dan siapa yang di-PKI-kan. Tapi mayoritas warga desa itu di-PKI-kan," kata Ngatiyar dalam diskusi itu, Jumat, 22 September 2017 lalu.
BACA: Kisah Miris Korban 1965, Basuki: Main Tuding, Itu PKI!
Goncangan waktu itu salah satunya dimulai dengan merebaknya kabar pembunuhan terhadap sejumlah kyai di desa lain oleh PKI. Kabar itu menguat di sana kala itu. Ngatiyar pun bertanya kepada saksi sejarah di sana mengingat pada masa itu belum ada radio atau pun surat kabar yang dimiliki warga desa. Kepemilikan radio dan surat kabar hanya oleh segelitir orang tertentu. "Saya tanya, kabar itu dari mana? Saksi menjawab, info itu ya dari tentara," kata Ngatiyar.
Tindakan penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap PKI pun terjadi di desa itu. Salah satu penandanya karena genteng rumah mereka menggunakan simbol PKI.
Ngatiyar sempat mengira penggunaan simbol itu berupa menuliskan kata PKI dengan huruf besar pada genteng rumah menggunakan cat. "Ternyata tidak. Simbol PKI itu menjadi merek genteng, seperti kalau sekarang ini merek genteng Sokka," kata Ngatiyar.
Berdasarkan temuan itu, Ngatiyar pun melakukan pengecekan ke desa lainnya. Ternyata rumah warga di desa lain pun menggunakan genteng dengan merek Masyumi."Pemilik rumah pun bilang. Jangankan PKI, warga di sini sebagian besar gentengnya adalah Masyumi," kata Ngatiyar.
Dia pun menyimpulkan, simbol-simbol partai pada masa itu juga menjadi merek dagang. Salah satu eksesnya adalah menjadi dasar orang-orang diciduk dengan tuduhan PKI.
BACA: G30S 1965 dan Pasukan Sipil Serba Hitam Membasmi PKI
Alasan pencidukan lainnya adalah penggunaan domprang atau stiker yang dipasang di rumah-rumah warga. Padahal menjadi kelaziman parpol hingga saat ini saat melakukan kampanye adalah dengan membagikan stiker kepada warga. "Membagikan dan menempelkannya di rumah warga. Domprang itu yang menempelkan orang lain (bukan pemilik rumah)," kata Ngatiyar.
Ada pula alasan lainnya karena cinta yang tak kesampaian. Menurut Ngatiyar, alasan itu cukup tragis. Dia mencontohkan ada sinden yang menolak cinta seorang laki-laki di desa itu. Lantaran ditolak dan sakit hati, sinden itu pun diisukan aktif dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Sementara Gerwani dituding terlibat melakukan penyiksaan terhadap tujuh jenderal di Lubang Buaya di Jakarta. Sinden itu pun diinterograsi dan mengalami pelecehan seksual. Tak sedikit yang dipenjara.
PITO AGUSTIN RUDIANA