Begini Pembuat Hoax Bekerja (4), Kisah Sari Roti 'Gratis'
Editor
Elik Susanto
Minggu, 8 Januari 2017 17:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - PT Nippon Indosari Corpindo Tbk, produsen Sari Roti, juga menjadi korban berita palsu. PT Nippon dikabarkan mengirim roti untuk konsumsi demonstran di silang Monumen Nasional, Jakarta pasa demo 212. Ada foto gerobak penjual Sari Roti yang ditempeli tulisan “Gratis untuk Mujahid” serta artikel penjualnya mendapat uang banyak dari orang tak dikenal. Berikut ini bagian terakhir serial penelusuran Tim Khusus Tempo terkait dengan hoax atau berita palsu yang mewabah sekarang ini.
Di media sosial, artikel dan foto-foto tersebut diasumsikan sebagai dukungan PT Nippon terhadap demonstrasi yang berlangsung 2 Desember 2016 itu. Melalui pernyataan pers beberapa hari kemudian, PT Nippon menjelaskan duduk soalnya. Roti yang dibagikan gratis itu, demikian tertulis dalam rilisnya, dibeli pada agen Sari Roti di Jakarta oleh seseorang yang meminta roti dikirim hingga pintu Monas lengkap dengan tulisan “gratis”. "Ini tanpa sepengetahuan dan perizinan PT Nippon Indosari Corpindo."
Baca: Begini Pembuat Hoax Bekerja (3), Para Korban Akhirnya Bicara
Kendati PT Nippon mendukung demonstrasi tersebut, rilis itu malah memantik kontroversi. Situs PT Nippon diretas kelompok hacker. Tanda pagar #boikotsariroti menjadi topik terpopuler di Twitter pada 7 Desember 2016. Kehebohan itu berimbas ke Bursa Efek Indonesia. Saham PT Nippon Indosari turun dari Rp 1.525 per lembar menjadi Rp 1.500.
Seruan boikot Sari Roti diamplifikasi oleh portal yang juga memuat kabar bohong pernyataan Nusron Wahid, politikus Partai Golkar. Suaranews menampilkan berita: "Rasain Loe, Sari Roti Menumpuk di Troli, Tak Laku, Diobral Sampai Ada Hadiah Menarik!!! Umat Islam Tetap Memboikot, Tak Sudi Beli Roti Pembela Penista Alquran". Sedangkan Nusantarakini membuat judul "Tak Laku, Sari Roti Diobral di Pinggir Jalan".
Baca: Begini Pembuat Hoax Bekerja (2), Konflik Suriah pun Digoreng
Portal-portal itu menjadi sumber informasi berbagai akun media sosial saat menyebarkan informasi mengenai Sari Roti. Meski menyerupai situs berita, portal-portal tersebut tak mencantumkan nama pengelola ataupun alamat redaksinya sehingga tak bisa dihubungi untuk dimintai konfirmasi.
Tak hanya di dunia maya, lalu ke bursa, dampak boikot sampai juga di dunia nyata. Kantin Sekolah Dasar Muhammadiyah 4 Surabaya berhenti menjual Sari Roti. Di kaca kantinnya tertulis pengumuman memakai huruf besar: "Maaf, Koperasi Asy Syam Tidak Lagi Menjual Sari Roti". Kepada Tempo, Wakil Kepala SD Muhammadiyah 4 Muhammad Syaikhul Islami mengatakan keputusan tak lagi menjual Sari Roti diambil dalam rapat pengurus koperasi.
Baca: Gerakan Tolak Hoax (1), Begini Pembuat Hoax Bekerja
Menurut Syaikhul Islami, produk Sari Roti merupakan hidangan jika ada kegiatan sekolah. Setiap dua-tiga hari, koperasi memesan roti ke agennya di Surabaya. Setiap hari, koperasi rata-rata menjual 200 bungkus. Kata Syaikhul, pengurus tersinggung oleh pernyataan PT Nippon melalui rilis. "Mulai sekarang, kami tak lagi menyajikan Sari Roti sebagai hidangan rapat," ujarnya.
Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Al Hikmah, Surabaya, juga memboikot Sari Roti. Yayasan itu mengeluarkan surat edaran agar kantin sekolah dan swalayan mereka tak menjual produk Sari Roti. Dalam surat edaran bernomor 157/A.2.1/YLPIH/XII/2016 tertanggal 9 Desember 2016 itu, pelajar Al Hikmah dilarang membawa produk Sari Roti ke sekolah.
Selain itu, wali murid dilarang mengkonsumsi, memperdagangkan, dan membeli produk Sari Roti. Kepala SMA Al Hikmah Andik Sugeng tak membantah atau membenarkan kabar ini. Untuk mengganti Sari Roti, SD Muhammadiyah 4 Surabaya melirik produk baru, yakni Roti Maida.
Roti itu diproduksi pengurus Muhammadiyah dan diluncurkan pada 25 Desember 2016. Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya Arif An mengatakan sebenarnya produksi Maida sudah lama direncanakan. Hanya, peluncuran produknya bersamaan dengan merebaknya tuduhan penistaan agama dan aksi bela Al-Quran di Jakarta. "Ini menjadi strategi pemasaran," kata Arif.
Tim Khusus Tempo
(Selengkapnya baca majalah Tempo edisi 2-8 Januari 2017)