Pihak swasta Doddy Aryanto Supeno mengenakan rompi tahanan dikawal petugas keluar gedung KPK seusai menjalani pemeriksaan oleh penyidik, Jakarta, 21 April 2016. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Tim kuasa hukum Doddy Aryanto Supeno, terdakwa suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menilai tuntutan jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap kliennya tidak adil. "Enggak fair! Enggak sesuai fakta persidangan," kata Ani Andriani, ketua tim kuasa hukum, melalui pesan pendek, Rabu, 31 Agustus 2016.
Jaksa meminta hakim menghukum Doddy selama 5 tahun penjara. Doddy dinyatakan bersalah menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, sebesar Rp 150 juta untuk menangani perkara Lippo Group. Uang itu diberikan dua kali, masing-masing Rp 100 juta pada Desember 2015 dan Rp 50 juta pada April 2016.
Ani mengatakan ada banyak fakta persidangan yang dihilangkan jaksa dalam surat tuntutan. Khususnya, kata dia, mengenai duit Rp 100 juta. Edy secara terang-terangan mencabut berita acara pemeriksaan di hadapan majelis hakim mengenai penerimaan duit Rp 100 juta. Namun jaksa menolak dan menyatakan pencabutan BAP tidak sah.
Seharusnya, kata Ani, jaksa menjadikan fakta persidangan sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun tuntutan. Sebab, menurut dia, keterangan saksi yang sah adalah yang disampaikan saat persidangan. "Sebenarnya JPU tahu bukti yang sah itu kan apa yang disampaikan di persidangan," ujarnya.
Jaksa menilai perbuatan Doddy tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Doddy juga berbelit-belit selama persidangan. Selain itu, perbuatannya bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap peradilan.
Doddy dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Doddy dinyatakan memberi suap Rp 150 juta agar Edy Nasution menunda proses aanmaning atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited. Dua perusahaan tersebut merupakan anak usaha Lippo Group.
Dalam surat tuntutan, Edy Nasution juga disebut membantu mengurus perkara salah satu anak usaha Lippo Group, yakni PT Jakarta Baru Cosmopolitan. Edy membantu mengubah surat pengadilan mengenai putusan eksekusi lahan, dengan kalimat dari "belum dapat dieksekusi" diganti dengan "tidak dapat dieksekusi".