Sejumlah pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari berorasi dan menutup kepala dengan kantong plastik saat aksi solidaritas jurnalis untuk Nurhadi di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu 1 Desember 2021. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur untuk menuntut seberat-beratnya kepada oknum aparat kepolisian yang melakukan penganiayaan kepada Nurhadi, wartawan harian Tempo. ANTARA FOTO/Jojon
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen menganalisis jumlah kasus kekerasan yang dihimpun selama 2021. Data yang dikumpulkan berasal dari monitoring harian 40 AJI tingkat kota, dari Aceh hingga Papua. Hasil analisis dan monitoring itu dibeberkan dalam catatan akhir tahun AJI di Jakarta, Rabu, 29 Desember 2021.
Menurut data AJI, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat sejak 1 Januari hingga 25 Desember 2021 mencapai 43 kasus. Jenis kekerasan paling banyak berupa teror dan intimidasi (9 kasus), disusul kekerasan fisik (7 kasus) dan pelarangan liputan (7 kasus).
“AJI juga mencatat masih terjadi serangan digital sebanyak 5 kasus, ancaman 5 kasus dan penuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata, 4 kasus,” kata Sekretaris Jenderal AJI Ika Ningtyas.
Dari sisi pelaku kekerasan, polisi menempati urutan pertama dengan 12 kasus, disusul orang tidak dikenal 10 kasus, aparat pemerintah 8 kasus, warga 4 kasus dan pekerja profesional 3 kasus. Adapun perusahaan, TNI, jaksa dan organisasi kemasyarakatan masing-masing 1 kasus.
Dilihat dari sebaran wilayahnya, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Provinsi Sumatera Utara dengan 5 kasus, disusul DKI Jakarta (4 kasus) dan Provinsi Lampung (3 kasus). Sisanya terjadi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Jawa Timur, masing-masing 3 kasus. “Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah penganiayaan yang dialami jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi pada 27 Maret 2021,” ujar Ika.
AJI pun mendesakkan sepuluh butir rekomendasi. Di antaranya meminta Presiden dan Kapolri mereformasi organisasi Polri karena personelnya selalu menjadi aktor dominan dalam kasus-kasus kekerasan pada jurnalis. AJI juga mendesak pemerintah dan DPR menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dalam RUU ITE.
Selain itu, AJI meminta Dewan Pers agar memperkuat nota kesepahaman dengan lembaga-lembaga penegak hukum. Sebab, produk yang oleh Dewan Pers telah dinyatakan sebagai karya jurnalistik pada prakteknya masih diproses pidana oleh aparat hukum.
AJI juga mewajibkan perusahaan media bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan pekerja media sesuai perundang-undangan, termasuk memberikan pendampingan kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan.