Kemenangan Taliban dan Dampaknya pada Kegiatan Terorisme di Indonesia

Reporter

Adam Prireza

Minggu, 22 Agustus 2021 06:24 WIB

Seorang anggota Taliban berjaga saat orang-orang berjalan di pintu masuk Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul, Afghanistan, 16 Agustus 2021. Diketahui sebelumnya Taliban menggunakan senapan AK-47, tetapi kini pasukan tersebut telah menggunakan senjata milik Amerika Serikat M16. REUTERS/Stringer

TEMPO.CO, Jakarta - Taliban telah mengambil alih kepemimpinan Afghanistan sejak pekan lalu. Hingga kini, ribuan orang masih berusaha meninggalkan Afghanistan. Peristiwa terssebut, jelas berdampak bagi Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Badan Intelijen Negara atau BIN mendeteksi jaringan teroris di Indonesia yang ditengarai dekat dengan kelompok Taliban di Afghanistan.

Sejumlah pengamat, ahli, mantan pelaku terorisme, hingga Badan Intelejen Negara (BIN) menanggapi beragam soal kepemimpinan Taliban di Afghanistan da dampaknya bagi terorisme di tanah air. Berikut adalah beberapa tanggapan pengamat tersebut yang Tempo rangkum:


1. Efek jangka panjang dari kebangkitan Taliban

Pengamat teroris Noor Huda Ismail menilai ada efek jangka panjang dari kebangkitan Taliban di Afganistan dengan pergerakan kelompok teroris di Indonesia. Dampak jangka panjang itu berupa human security atau keamanan manusia. "Itu akan menginspirasi kelompok-kelompok yang pro negara Islam. Efek dominonya itu loh yang dikhawatirkan," ujar Noor Huda saat dihubungi pada Rabu, 18 Agustus 2021.

Bahkan, kata Noor Huda, anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) merasa senang ketika mendengar kabar bahwa kelompok Taliban berhasil menduduki Kabul, Afganistan. Menurut dia, kelompok teroris yang ada di Indonesia seperti mendapat inspirasi, di mana mereka melihat bahwa kelompok Taliban mampu menunggu selama 20 tahun untuk akhirnya bisa kembali menduduki Afganistan.

Advertising
Advertising

Namun, inspirasi itu bukan soal akan maraknya aksi teror, tetapi lebih ke perubahan ideologi dan atau pola hidup. "Kita (dalam artian kelompok teroris) will do the same. Menangkan dulu hati orang untuk mengubah sistem. Ancaman terbesarnya di perubahan sistem negara," ucap Noor Huda.

2. BIN deteksi jaringan teroris yang diduga dekat dengan Taliban

Badan Intelijen Negara atau BIN mendeteksi jaringan teroris di Indonesia yang ditengarai dekat dengan kelompok Taliban di Afghanistan. "Setelah kemenangan Taliban menguasai Afghanistan, BIN bersama jajaran intelijen memperkuat deteksi dan cegah dini kelompok teroris yang memiliki kedekatan ideologis dan jaringan dengan Taliban," ujar Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto, Jumat, 20 Agustus 2021.

Ia menyebut, selama ini pergerakan kelompok teroris di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan situasi di tingkat global dan regional.Misalnya saja pada saat ISIS mendeklarasikan cita-citanya untuk mewujudkan Negara Islam di Irak pada 2014. Ada beberapa WNI, kata Wawan, yang tertarik untuk menjadi bagian dari Negara Islam di Irak dan Suriah.

Untuk itu, kata Wawan, upaya deteksi dini penting dilakukan sebagai langkah antisipatif. Selain itu, ujar dia, BIN juga terus memonitor situasi keamanan di Afghanistan. Kendati, Taliban sudah berjanji tidak akan mengusik misi diplomatik asing di Afghanistan.

"Pemerintah Indonesia terus memonitor situasi keamanan di Afghanistan. Keselamatan WNI dan staf KBRI di Afghanistan, menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia. Sejauh ini kondisi WNI dan staf KBRI di Afghanistan dalam kondisi aman dan selamat," ujarnya.

3. Kemenangan Taliban diyakini tak picu terorisme di Indonesia

Mantan pimpinan kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI), Abu Tholut, menilai kemenangan Taliban di Afghanistan tidak akan berpengaruh terhadap kebangkitan terorisme di Indonesia. “Kita enggak usah khawatir dengan kemenangan Taliban, apakah akan meningkatkan aksi terorisme di Indonesia,” kata Abu Tholut dalam diskusi yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Sabtu, 21 Agustus 2021.

Abu Tholut mengatakan, tidak ada bukti empiris bahwa suatu kemenangan gerakan di luar negeri memicu aksi terorisme. Sebagai contoh, kemenangan pemimpin Revolusi Iran, Ayatollah Khomeini, pada 1979, memunculkan euforia di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, tidak ada gerakan terorisme yang muncul.

Kedua, kemenangan Mujahidin di Afghanistan pada 1992 juga tidak berdampak sama sekali. Baru pada 1999 atau 7 tahun setelah kemenangan Mujahidin, kata Abu Tholut, ada konflik Ambon yang memicu bom Natal.

Menurut Abu Tholut, aksi terorisme justru muncul ketika Amerika Serikat dan NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) masuk Afghanistan pada 2001. “Artinya, ini psikologi, itu gerakan kemenangan tidak memicu apa-apa yang sifatnya terorisme. Justru yang memicu adalah berita tentang kekalahan, kezaliman, berita duka,” katanya.

4. Kemenangan Taliban dapat picu rekrutmen teroris

Mantan Pimpinan Jemaah Islamiyah (JI) di Indonesia, Nasir Abbas, meminta pemerintah mewaspadai euforia simpatisan kelompok Taliban, setelah kemenangan di Afghanistan. Nasir mengatakan euforia ini kerap berbuntut pada upaya rekrutmen oleh kelompok JI. "Masyarakat umum terbawa arus, terbawa menganggap ini kemenangan Islam. Akibatnya mereka mudah direkrut. Banyak dibaiat. Efek dari euforia membuat banyak orang untuk masuk," kata Nasir saat dihubungi Tempo, Sabtu, 21 Agustus 2021.

Nasir mengatakan hal ini juga terjadi pada 2013 lalu, saat kelompok teror ISIS menyatakan kemenangan mereka di Suriah dan membentuk negara khilafah. Banyak simpatisan termasuk JI di Indonesia, yang menganggap ini sebagai kemenangan Islam. Mereka kemudian menggiring opini ini ke masyarakat.

Apalagi, Nasir meyakini banyak simpatisan Jamaah Islamiyah yang masih tersisa. Penangkapan 53 terduga teroris oleh Mabes Polri, adalah salah satu bukti masih adanya sisa jaringan itu di Indonesia. "Mereka mengubah strukturalnya, mereka mengubah strategisnya, mereka memperkuat kantong pundi-pundi dana mereka untuk mendanai gerakan mereka," kata Nasir.

5. Indonesia diminta bersabar sikapi kepemimpinan Taliban

Dosen Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak mencampuri urusan internal yang sedang terjadi di suatu negara, khususnya Afghanistan. Ia menilai langkah yang paling tepat dilakukan pemerintah ialah membiarkan dulu proses politik di Afghanistan hingga muncul pemimpin. "Menurut saya, sebaiknya pemerintah tidak dulu bersikap," kata Hikmahanto, mengutip Antara, Sabtu, 21 Agustus 2021.

Selain itu, Indonesia harus menunggu sikap dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sebab, saat ini Dewan Keamanan PBB sedang membahas situasi di Afganistan. Apalagi, semua pihak juga belum bisa mengetahui siapa yang akan menjadi pemimpin di Pemerintahan Afghanistan.

Guru Besar UI itu mengingatkan Indonesia agar jangan sampai dicap sebagai negara yang mencampuri urusan negara lain. "Kita tidak ingin turut campur masalah dalam negeri di Afghanistan," ujarnya.

ADAM PRIREZA | EGI ADYATAMA | DEWI NURITA | BUDIARTI UTAMI

Baca: Eks Jamaah Islamiyah Sebut Kemenangan Taliban Bisa Jadi Pintu Rekrutmen Teroris






Berita terkait

Kepolisian Australia Menembak Mati Remaja Laki-laki karena Penikaman

1 hari lalu

Kepolisian Australia Menembak Mati Remaja Laki-laki karena Penikaman

Kepolisian Australia mengkonfirmasi telah menembak mati seorang remaja laki-laki, 16 tahun, karena penikaman dan tindakan bisa dikategorikan terorisme

Baca Selengkapnya

Pengakuan Palestina sebagai Negara Berdaulat akan Jadi Pukulan Telak bagi Israel

1 hari lalu

Pengakuan Palestina sebagai Negara Berdaulat akan Jadi Pukulan Telak bagi Israel

Menteri Luar Negeri Turkiye sangat yakin pengakuan banyak negara terhadap Palestina sebagai sebuah negara akan menjadi pukulan telak bagi Israel

Baca Selengkapnya

Retno Marsudi Soroti Kesenjangan Pembangunan Jadi Tantangan Terbesar OKI

1 hari lalu

Retno Marsudi Soroti Kesenjangan Pembangunan Jadi Tantangan Terbesar OKI

Retno Marsudi menyoroti kesenjangan pembangunan sebagai tantangan besar yang dihadapi negara-negara anggota OKI

Baca Selengkapnya

Delegasi PBB Evakuasi Pasien dari Rumah Sakit di Gaza Utara

2 hari lalu

Delegasi PBB Evakuasi Pasien dari Rumah Sakit di Gaza Utara

Delegasi PBB mengevakuasi sejumlah pasien dan korban luka dari Rumah Sakit Kamal Adwan di Jalur Gaza utara

Baca Selengkapnya

Hamas: Netanyahu Berusaha Gagalkan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza

2 hari lalu

Hamas: Netanyahu Berusaha Gagalkan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza

Pejabat senior Hamas mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berupaya menggagalkan kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

Baca Selengkapnya

WHO: Rencana Darurat Tak Bisa Cegah Kematian jika Israel Lakukan Serangan Darat di Rafah

2 hari lalu

WHO: Rencana Darurat Tak Bisa Cegah Kematian jika Israel Lakukan Serangan Darat di Rafah

WHO mengatakan tidak ada rencana darurat yang dapat mencegah "tambahan angka kematian" di Rafah jika Israel menjalankan operasi militernya di sana.

Baca Selengkapnya

Palestina: Tidak Ada Guna Membahas Gaza di PBB

3 hari lalu

Palestina: Tidak Ada Guna Membahas Gaza di PBB

Dubes Palestina untuk Austria menilai upaya membahas Gaza pada forum PBB tidak akan berdampak pada kebijakan AS dan Eropa yang mendanai genosida.

Baca Selengkapnya

PBB: Serangan Terbaru Israel Bisa Hapus 44 Tahun Pembangunan Manusia di Gaza

3 hari lalu

PBB: Serangan Terbaru Israel Bisa Hapus 44 Tahun Pembangunan Manusia di Gaza

Jika perang terus berlanjut selama sembilan bulan, kemajuan yang dicapai selama 44 tahun akan musnah. Kondisi itu akan membuat Gaza kembali ke 1980

Baca Selengkapnya

Tema World Water Forum ke-10 Sejalan dengan Target UNICEF, Kelangkaan Air jadi Isu Krusial

3 hari lalu

Tema World Water Forum ke-10 Sejalan dengan Target UNICEF, Kelangkaan Air jadi Isu Krusial

Tema World Water Forum ke-10 di Bali berkaitan dengan sejumlah tujuan UNICEF. Salah satunya soal akses air bersih untuk anak-anak di daerah.

Baca Selengkapnya

PBB: Kehancuran Bangunan di Gaza Terburuk Sejak PD II, Butuh Biaya Rekonstruksi Hingga US$40 Miliar

3 hari lalu

PBB: Kehancuran Bangunan di Gaza Terburuk Sejak PD II, Butuh Biaya Rekonstruksi Hingga US$40 Miliar

PBB melaporkan kehancuran perumahan di Gaza akibat serangan brutal Israel sejak 7 Oktober merupakan yang terburuk sejak Perang Dunia II.

Baca Selengkapnya