Ilustrasi salat tarawih pertama di Pondok Pesantren Mahfilud Dluror Desa Suger Kidul, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember pada awal Ramadan 1440 Hijriah di 2019. Jemaah ponpes ini mulai melaksanakan salat tarawih pada Rabu malam, 22 April 2020, penetapan awal Ramadan berdasarkan keyakinan yang menggunakan acuan sistem khumasi berdasarkan kitab Nushatul Majaalis yang sudah dijalankan selama 194 tahun. ANTARA/Zumrotun Solichah
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pesantren Indonesia (Rabithah Ma'ahid Islamiyah) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU meminta Pemerintah tak memaksakan pelaksanaan new normal di pesantren yang belum siap.
RMI-PBNU menilai penerapan new normal di pesantren selama wabah Covid-19 terlalu dipaksakan. Bahkan, dinyatakan new normal tak bisa dilaksanakan di pesantren.
"Pesantren yang berbasis komunitas dan cenderung komunal justru dapat menjadi klaster baru pandemi Covid-19. Sesuatu yang sepatutnya dihindari," kata Ketua RMI-PBNU Abdul Ghofarrozin dalam siaran persnya hari ini, Jumat, 29 Mei 2020.
Abdul menerangkan Pemerintah belum memiliki perhatian dan kebijakan khusus untuk menangani Covid-19. Apalagi jumlah dan pertumbuhan pasien masih tinggi dan meluas persebarannya.
Apalagi, dia melanjutkan, prasyarat untuk mencegah penularan Covid-19, terutama jaga jarak (social/physical distancing), semakin sulit diwujudkan.
Abdul meminta Pemerintah menyediakan tiga fasilitas untuk menjaga pesantren dari serangan Covid-19.
Dia menyebut, Pemerintah harus menyediakan fasilitas dan peralatan kesehatan, sarana dan fasilitas pembelajaran online, dan biaya pendidikan (Syahriyah/SPP dan Kitab ) bagi santri yang secara ekonomi terdampak Covid-19.
"Apabila tidak ada kebijakan nyata untuk tiga hal di atas maka RMI-PBNU menyarankan pesantren memperpanjang masa belajar di rumah," ujar Abdul Ghoffarozin.