Akar Kekerasan Seksual, Belajar dari Kasus Agni UGM

Selasa, 12 Februari 2019 01:18 WIB

Ilustrasi Kita Agni, kasus pemerkosaan Mahasiswi UGM. shutterstock.com

TEMPO.CO, Jakarta - Sri Wiyanti Eddyono, anggota Komite Etik Universitas Gadjah Mada atau UGM Yogyakarta menjelaskan akar persoalan ketidaksetaraan antara-penyintas dan pelaku dalam dugaan kasus pelecehan seksual yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). Agni merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik kampus tersebut.

Baca juga: Kasus Agni UGM, Korban Disalahkan Hingga Depresi

Dosen Fakultas Hukum UGM ini berpendapat terjadi pelecehan seksual berdasarkan pada perbuatan inkonsensual (tanpa persetujuan). Pendapat itu mengacu pada dokumen, kronologi peristiwa, keterangan kedua belah pihak, dan hasil tim investigasi UGM.

Menurut Sri, Komite Etik berkesempatan bertemu dengan Agni dan pelaku yang berinisial HS. Mereka mempelajari dokumen kronologis dari kedua belah pihak. “Dari proses tersebut pelaku mengakui telah melakukan perbuatan asusila tanpa seizin penyintas dan karenanya bersedia menyampaikan permohonan maaf secara tertulis,” kata Sri Wiyanti, Ahad, 10 Februari 2019.

Menurut Sri, ada perbedaan dan persamaan penggambaran apa yang terjadi dari kedua belah pihak. Situasi yang digambarkan oleh kedua pihak dalam kronologis itu diberikan kepada Komite Etik. Menurut Sri, persamaannya adalah penyintas dalam keadaan tertidur, pelaku mulai melakukan perbuatannya tanpa meminta ijin kepada penyintas. Perbedaannya adalah pada penggambaran apa yang terjadi sesudah itu.

Advertising
Advertising

Kepada Tim Etik Agni menuliskan, "Saya ketakutan dan merasa tahu apa yang terjadi selanjutnya, tetapi badan saya kaku dan tidak bergerak. Saya ingin melepaskan diri tapi merasa tidak ada daya. Saya bingung harus bagaimana sebab kalau teriak. Saya takut apabila berteriak, justru dampaknya lebih buruk."

Sementara itu, pelaku menyebut penyintas tidak menunjukkan tanda-tanda menolak dan menganggap penyintas meresponnya. Karena anggapan itu pelaku melanjutkan perbuatannya. Pelaku menyebut, "Waktu itu saya berpikir dia bangun dan sadar atau tahu apa yang terjadi, namun tidak ada penolakan sama sekali."

Menurut Sri, kondisi yang Agni dan HS sampaikan dalam beberapa studi terjadi pada kasus-kasus sejenis. Perempuan merasa tidak berdaya untuk menolak. Sedangkan, laki-laki merasa perempuan tidak menolak.

Menurut Sri, kata-kata yang dipakai sendiri oleh pelaku ‘saya berpikir’ menunjukkan pelaku berbuat karena asumsinya bahwa pihak penyintas yang awalnya diam setuju. Pelaku tidak berpikir bahwa penyintas diam karena takut. “Persepsi yang berbeda ini sesungguhnya dipengaruhi oleh stereotip gender yang terjadi dalam budaya patriarki,” kata dia.

Dampak dari budaya itu, menurut Sri, adalah persepsi laki-laki yang mendominasi kenyataan. Masyarakat memberikan keistimewaan kepada laki-laki untuk mengira bahwa persepsinya adalah kenyataan. Dalam budaya patriarki yang kuat, jika kekerasan seksual terjadi, maka serta merta laki-lakilah dianggap sumber informasi yang paling dipercaya.

Baca juga: Anggota Komite Etik UGM Kecewa Soal Rekomendasi Kasus Agni

Dampak lanjutannya, kata Sri Wiyanti adalah apa yang disampaikan oleh perempuan terkait dengan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya tidak dipercaya. "Diamnya perempuan wujud kebingungan terhadap situasi yang tidak diduga, tidak diterima oleh laki-laki, dan masyarakat," ujar Sri.

Pengalaman perempuan dipertanyakan. Apalagi jika laki-laki yang melakukan kekerasan tidak mengakui perbuatannya. Selain itu, kata Sri, jika pelaku mengakui, tapi disertai alasan yang didasarkan pada persepsi pribadinya terhadap respon korban, maka pengakuan itu dianggap sesuatu yang luar biasa, bahkan menjadi pembelaan.

Pandangan yang sangat bias gender itu, kata Sri Wiyanti terlihat dengan sikap meletakkan kesalahan kepada perempuan sebagai perbuatan yang berkontribusi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki. Pada studi-studi di Indonesia dan negara lain ditemukan kekerasan seksual terjadi pada orang yang dikenal, yang memiliki relasi apakah pertemanan, persaudaraan, atau relasi-relasi sosial lainnya.

Keadaan tidak disangka ini terjadi pada situasi yang pada umumnya dalam ruang-ruang privat atau dengan kata lain tidak ada yang menyaksikan perbuatan tersebut. Adanya situasi itu seringkali dipandang sebagai perbuatan yang dilakukan sebagai ‘suka sama suka’. “Unsur paksaan seolah tidak ada dan paksaan selalu dianggap sesuatu yang bersifat fisik,” kata Sri Wiyanti.

Berita terkait

70 Persen Mahasiswa UGM Keberatan dengan Besaran UKT, Ada yang Cari Pinjaman hingga Jual Barang Berharga

3 jam lalu

70 Persen Mahasiswa UGM Keberatan dengan Besaran UKT, Ada yang Cari Pinjaman hingga Jual Barang Berharga

Peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas di Yogyakarta turut diwarnai aksi kalangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balairung UGM Kamis 2 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Peringati Hari Pendidikan Nasional, Mahasiswa UGM Gelar Aksi Tuntut Tranparansi Biaya Pendidikan

5 jam lalu

Peringati Hari Pendidikan Nasional, Mahasiswa UGM Gelar Aksi Tuntut Tranparansi Biaya Pendidikan

Mahasiswa UGM menggelar aksi menuntut transparansi biaya pendidikan dan penetapan uang kuliah tunggal (UKT).

Baca Selengkapnya

Hardiknas 2024, UGM Ingin Wujudkan Kampus Inklusif

6 jam lalu

Hardiknas 2024, UGM Ingin Wujudkan Kampus Inklusif

Rektor UGM Ova Emilia mengatakan, UGM telah membangun ekosistem pendidikan yang inklusif, inovatif, strategis, berdaya saing, dan sinergis.

Baca Selengkapnya

Hardiknas, Mahasiswa UGM Demo Tolak UKT yang Memberatkan

7 jam lalu

Hardiknas, Mahasiswa UGM Demo Tolak UKT yang Memberatkan

Peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas di Yogyakarta turut diwarnai aksi kalangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balairung UGM Kamis 2 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Lulus Spesialis Dokter UGM di Usia 27 Tahun, Aulia Ayub Ungkap Kiatnya

12 jam lalu

Lulus Spesialis Dokter UGM di Usia 27 Tahun, Aulia Ayub Ungkap Kiatnya

Aulia Ayub mengungkapkan kiatnya sebagai lulusan termuda dan tercepat dari Program Spesialis UGM dengan IPK 4,00.

Baca Selengkapnya

Aulia Ayub, Lulusan Termuda dan Tercepat di UGM dengan IPK Sempurna 4

1 hari lalu

Aulia Ayub, Lulusan Termuda dan Tercepat di UGM dengan IPK Sempurna 4

Cerita Aulia Ayub, peraih lulusan termuda dan tercepat dari Program Spesialis Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan IPK 4,00.

Baca Selengkapnya

3 Prodi FMIPA UGM Masuk Peringkat Dunia Versi QS WUR by Subject 2024

1 hari lalu

3 Prodi FMIPA UGM Masuk Peringkat Dunia Versi QS WUR by Subject 2024

Ketiga prodi UGM tersebut adalah prodi Matematika, Kimia, dan Fisika.

Baca Selengkapnya

Mengenang Umar Kayam, Sastrawan dan Akademisi yang Lebih Dikenal sebagai Bintang Film

1 hari lalu

Mengenang Umar Kayam, Sastrawan dan Akademisi yang Lebih Dikenal sebagai Bintang Film

Mengenang Umar Kayam, pemeran Sukarno dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Kakek Nino RAN ini seorang sastrawan dan Guru Besar Fakultas Sastra UGM.

Baca Selengkapnya

Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi: Jika Tidak Ada, Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

2 hari lalu

Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi: Jika Tidak Ada, Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

Keberadaan partai oposisi sangat penting untuk memberikan pengawasan dan mengontrol jalannya pemerintahan. Ini pendapat dosen filsafat UGM.

Baca Selengkapnya

Guru Besar UGM Anjurkan Daun Pegagan untuk Terapi Daya Ingat, Begini Cara Kerjanya

8 hari lalu

Guru Besar UGM Anjurkan Daun Pegagan untuk Terapi Daya Ingat, Begini Cara Kerjanya

Tanaman liar pegagan dianggap bisa membantu terapi daya ingat. Senyawa aktifnya memulihkan fungsi hipokampus, bagian krusial pada otak.

Baca Selengkapnya