6 Buruh Migran Indonesia Diduga Masih Disekap di Suriah
Reporter
Abdi Purmono (Kontributor)
Editor
Juli Hantoro
Senin, 4 Februari 2019 13:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sedikitnya enam buruh migran ilegal asal Indonesia saat ini duga masih disekap di Suriah. Empat orang di antaranya berasal dari Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dua orang lagi berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat.
Baca juga: Cegah Kasus Tuti Tursilawati, Migrant Care Usul Pendidikan Migran
Mereka dijanjikan bekerja di Abudhabi, Uni Emirat Arab, tapi justru ditempatkan di Aleppo, Suriah. Mereka ditempatkan di sebuah rumah penampungan milik agensi milik warga asli Suriah tanpa pekerjaan dan mengalami kekerasan.
Informasi itu diungkapkan oleh seorang buruh migran asal Kabupaten Malang yang berhasil keluar dari Suriah.
Yanti, 45 tahun, warga Dusun Gumukmas, Desa Karangsari, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang mengisahkan, ia berada di Aleppo hampir lima bulan dan berhasil tiba di Bandar Udara Internasional Juanda pada akhir Desember 2018.
Yanti mengaku menjadi buruh migran lewat jalur ilegal lewat sponsor yang hingga sekarang tak diketahui nama badan hukumnya. Dia hanya mendaftar untuk bekerja di Abudhabi seperti yang dijanjikan sponsor. Dia memang tiba di Abudhabi tapi hanya untuk transit sebentar. Dia kemudian dipindah ke Damaskus, Ibu Kota Suriah, dan kemudian ditempatkan di sebuah rumah penampungan di Aleppo.
Yanti berada di sana bersama 9 wanita lainnya. Tujuh orang di antaranya berasal dari Indonesia dan dua orang lagi masing-masing berkewarganegaraan India dan Srilanka.
“Semua ingin pulang. Kalau ada video yang mengatakan mereka baik-baik saja, itu bukan cerita yang sebenarnya. Mereka disuruh agensi supaya cerita seperti itu. Saya bisa pulang karena ada gejala kondisi hamil,” kata Yanti, Sabtu, 2 Februari 2019.
Yanti mengonfirmasi kebenaran sebuah status Facebook yang ditulis akun Srikandi, nama samaran seorang buruh migran Indonesia di Aleppo, pada 4 Januari 2019. Srikandi ini teman dia di Aleppo.
Srikandi menulis, “Tolong kami para TKW yang ditipu para sponsor. Kami dijanjikan kerja di Dubai, Abudhabi, tapi ternyata kami dijual ke negara Syiria negara perang. Hampir tiap hari kami dengar suara bom dan tembakan. Tolong hentikan para sponsor tidak bertanggung jawab agar tidak korban yang lebih banyak lagi. Mohon.” Tulisan itu diakhiri dengan tiga emoji menangis. Namun, akun Srikandi sudah dihapus.
Selama di penampungan Yanti menyaksikan beberapa buruh migran mengalami kekerasan. Para buruh migran sering diomeli dan dibentak. Pipi Yanti pernah ditampar jika kelakuan dan hasil kerjanya tidak sesuai dengan harapan karyawan kantor penampungan.
Listrik tidak selalu menyala. Dia dan kawan-kawan biasa menerima makan satu kali dalam sehari. Suara tembakan dan ledakan bom yang terjadi hampir tiap hari makin membuat mereka ketakutan.
Yanti bisa pulang berkat perjuangan suami dan keluarga serta kebaikan majikan yang meminjamkan telepon genggam—semua telepon genggam milik buruh migran disita agensi—untuk menghubungi suaminya di Malang. Majikan merelakan Yanti pulang karena diketahui sedang hamil.
Baca juga: Pakar: Indonesia Tak Punya Kekuatan Soal Kasus Tuti Tursilawati
“Saya pernah dikurung di kamar mandi karena menolak minum obat untuk menggugurkan kandungan. Saya terus berdoa dan berusaha untuk tetap hidup,” ujar Yanti, yang mengaku membawa amanat tiga TKW asal Kabupaten Malang yang masih ditahan di Aleppo.
Tiga buruh migran yang dimaksud Yanti bernama Suntina, 50-an tahun, warga Desa Kademangan, Kecamatan Pagelaran; Nur Hamidah, 37 tahun, warga RT 15/RW 04 Desa Brongkal, Kecamatan Pagelaran, dan seorang lagi warga Sumbermanjing Wetan.
Informasi tentang buruh migran Indonesia asal Malang yang berada di Suriah sudah diketahui Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Malang.
Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Sukardi memastikan mereka merupakan pekerja migran ilegal karena pengiriman tenaga kerja ke kawasan Timur Tengah dan negara tujuan lainnya dalam masa moratorium sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI.
Masalahnya, ujar Sukardi, Dinas Tenaga Kerja tidak bisa memastikan keberadaan dan kondisi mereka karena tiada keluarga korban yang melaporkan langsung pada mereka. Sukardi baru meneria laporan lisan dari pihak pemerintah desa.
“Identitas lengkapnya belum kami ketahui. Informasinya masih sebatas lisan. Kami menunggu pengaduan resmi dari pemerintah desa setempat dan keluarga korban agar bisa melakukan langkah yang lebih proaktif dan konkret untuk membantu,” kata Sukardi lewat sambungan telepon.
Saat ini Dinas Tenaga Kerja sedang menelusuri keberadaan perusahaan maupun sponsor yang mengirim mereka ke Suriah maupun ke negara tujuan lain secara ilegal.