Maju Mundur Pembahasan RUU PKS

Senin, 26 November 2018 20:33 WIB

Aliansi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual tuntut Pemerintah sahkan RUU PKS di YLBHI Jakarta, 3 Mei 2016. TEMPO/Abdul Azis

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Agama dan Sosial atau Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat tak kunjung memulai pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS. Kendati sudah diajukan sejak awal 2017 dan menjadi salah satu program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2018, pembahasan RUU ini malah terkesan jalan di tempat.

Baca juga: Kepala Sekolah Pelapor Baiq Nuril Bungkam

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan draf UU Penghapusan Kekerasan Seksual masih dalam tahap memperoleh masukan dari sejumlah pihak melalui rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum. “Masih memperkaya dulu, menghimpun pendapat publik dari beberapa pakar,” kata Marwan kepada Tempo, Rabu, 21 November 2018.

Marwan mengakui Komisi VIII belum sepakat ihwal definisi kekerasan seksual itu sendiri. RUU PKS dianggap mengadopsi nilai-nilai Barat sehingga cenderung bebas. “Harus diramu lagi, memasukkan nilai agama, adat, budaya, dan sosial kemasyarakatan Indonesia. Jangan terlalu bebas,” kata dia.

Menurut Marwan, setidaknya ada tiga poin yang menuai perdebatan selama beberapa kali berlangsung rapat dengar pendapat. Pertama, Marwan menyebutkan adanya anggapan RUU PKS bakal mengganggu tatanan dalam relasi perkawinan. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini berujar, bisa saja seorang istri menolak berhubungan seksual dengan suaminya dan berlindung di balik Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Advertising
Advertising

“Andaikan, seorang istri sudah tidak mau dengan suami atau ada pria idaman lain, dia bersiasat agar diperlakukan keras oleh suaminya. Padahal mereka suami istri,” kata Marwan.

Kedua, RUU PKS dianggap berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Marwan berujar, RUU PKS diprotes lantaran tak menjangkau aktivitas seksual yang dilakukan sesama jenis selama tidak terjadi kekerasan.

“Kami ingin UU ini selain meneguhkan ikatan perkawinan, kemudian tidak membiarkan orang karena suka sama suka akan melakukan pelanggaran asusila,” kata Marwan.

Ketiga, Marwan juga mengungkap adanya kekhawatiran RUU PKS menjadi pembenaran untuk melakukan kriminalisasi. Dia mencontohkan, bisa saja seseorang berpura-pura menjadi korban kekerasan seksual dengan tujuan menjatuhkan pihak lain.

Apa yang disampaikan Marwan merangkum secara singkat kendala pembentukan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Perdebatan ihwal relasi suami istri dan LGBT ini jugalah yang mewarnai sejumlah rapat Komisi VIII bersama mitra, ahli, dan kelompok masyarakat.

Saat RDP dengan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengadaan Layanan pada 23 Januari lalu misalnya, anggota Komisi VIII dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mohd. Iqbal Romzi mempertanyakan apakah seorang suami bisa dihukum lantaran “memaksa” istrinya yang sedang tidak mau atau tak bisa berhubungan seksual. Iqbal menyinggung dalih agama yang menyebut bahwa seorang istri berkewajiban “melayani” suaminya. Iqbal tak bisa dimintai konfirmasi. Pesan dan panggilan telepon Tempo tak direspons.

Dalam rapat yang sama, pertanyaan seputar keterkaitan RUU PKS dengan LGBT juga dikemukakan setidaknya oleh empat anggota Komisi VIII. Mereka ialah Endang Maria Astuti (Partai Golkar), Choirul Muna (Partai Nasional Demokrat), Iqbal Romzi (PKS), dan Siti Mufattahah (Partai Demokrat).

“Fraksi kami Partai Nasdem menjadi barikade terdepan menolak LGBT,” kata Choirul, dikutip dari catatan rapat yang dimuat di wikidpr.org, Sabtu, 24 November 2018.

Hal senada disampaikan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) dalam RDPU pada 31 Januari lalu. AILA menyebut RUU PKS mengafirmasi perilaku LGBT. AILA bahkan berpendapat RUU PKS tak usah dilanjutkan. Berikutnya, pandangan-pandangan serupa juga dikemukakan para pakar.

Bercermin dari segala protes itu, Marwan mengatakan perlu berhati-hati agar RUU PKS tak bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan, serta tidak menimbulkan kritik-kritik berikutnya dari pihak penentang. Di sisi lain, dia tak menampik banyaknya desakan publik agar RUU PKS segera dibahas dan disahkan.

Marwan mengaku, sebagai pimpinan Komisi VIII dan Ketua Panitia Kerja, dia perlu mencari celah. Marwan juga menampik anggapan Komisi VIII tak serius. RUU PKS, kata dia, diinisiasi salah satunya oleh fraksi PKB.

Sejumlah anggota Komisi VIII berpandangan kekhawatiran-kekhawatiran ihwal relasi rumah tangga dan LGBT bisa dijawab dengan gampang. Anggota Komisi VIII Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengingatkan adanya Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang bisa dirujuk untuk menjawab kekhawatiran pertama.

“Kan sudah ada di UU KDRT. Tolong pelajari UU yang sudah berlaku di negeri ini. Jadi kalau ada permasalahan dengan itu silakan ke UU yang menjadi rujukan,” kata Sara, sapaan Rahayu, saat ditemui di bilangan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis, 22 November 2018.

Baca juga: Darurat Kekerasan Seksual dan Pembahasan RUU PKS yang Lambat

Sara juga menangkis ketakutan para pihak penentang mengenai LGBT. Politikus Partai Gerindra itu berujar, RUU PKS tak berbicara sepatah kata pun ihwal mereka. Pendapat ini ditegaskan pula oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily. Menurut Ace, LGBT mestinya menjadi perdebatan lain di luar RUU PKS tersebut.

“Ini konteksnya melindungi orang, bagaimana agar kekerasan seksual itu jangan ada. Menurut saya, tidak ada kaitannya dengan LGBT,” ujar Ace secara terpisah.

Ketakutan soal LGBT ini melebar ke mana-mana. Marwan mengungkapkan adanya sejumlah pihak yang ingin RUU PKS tak dilepaskan dari Undang-undang Perkawinan yang mengatur hubungan secara heteroseksual, laki-laki dan perempuan. Kata dia, ada kemungkinan RUU PKS disisipi pasal dari UU Perkawinan menyangkut hal ini.

Jika tidak, Marwan mengatakan ada kekhawatiran UU Perkawinan akan diabaikan. Kaum LGBT, kata dia, akan berlindung di balik UU PKS—jika sudah disahkan. Meski begitu Marwan tak merinci bagaimana memasukkan pasal dari UU Perkawinan ke RUU PKS. Dia mengatakan masih akan menghimpun pendapat ahli.

Lagi-lagi, Sara tak sepakat. Dia sekaligus mempertanyakan ketakutan soal diabaikannya UU Perkawinan bila UU PKS berlaku. “Mana mungkin. Itu UU (Perkawinan) masih berlaku dan belum ditarik oleh DPR,” kata Sara.

Secara terpisah, anggota Komisi VIII DPR Diah Pitaloka menambahkan, perdebatan soal LGBT seharusnya rampung dengan fakta tidak diakuinya keberadaan mereka secara sah oleh negara. Diah berpendapat ketakutan LGBT menjadi legal tidaklah beralasan.

“Kan sudah selesai dengan tidak adanya pengakuan negara. Mereka ingin diakui, itu perjuangan mereka, tapi ranahnya bukan di UU ini,” kata Diah.

Diah juga menanggapi kekhawatiran ihwal kemungkinan disalahgunakannya aturan ini untuk melakukan kriminalisasi terhadap pihak lain. Dia berujar persoalan yang sama bisa terjadi menyangkut UU apa pun. Namun, Diah mengingatkan bahwa hukum jelas-jelas mensyaratkan proses pembuktian kesalahan.“Di situlah pentingnya lembaga pengadilan,” ujarnya.

Diah menyebut perbedaan pandangan dari pelbagai kalangan sebetulnya mewakili kelompok konservatif dan progresif. Kelompok pertama, kata dia, cenderung akan menganggap RUU PKS berbahaya, termasuk berpotensi melegalkan LGBT.

Menurut Diah, perdebatan berlarut soal LGBT dan kekerasan dalam relasi suami istri malah kontraproduktif. Sebab, Indonesia kini sangat membutuhkan payung hukum mengingat berjatuhannya korban akibat kekerasan seksual.

Sejak 2014, Komnas Perempuan menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Angka kekerasan seksual pun meningkat setiap tahun. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, pada 2017 ada 348.446 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan ditangani. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.

“Beberapa ahli menganggap UU ini sangat berbahaya. Tapi saya heran kondisi bahaya tingginya angka kekerasan seksual malah enggak dibahas,” ujar Diah.

<!--more-->

Tak Kunjung Membahas DIM

Per Ahad, 25 November 2018, genap 1.059 hari RUU PKS ada di DPR. Momentum perayaan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan yang digunakan oleh pelbagai pihak untuk mendorong DPR segera membahas dan mengesahkan draf aturan tersebut.

Namun, pembahasan RUU PKS bukan cuma terkendala persoalan definisi yang belum disepakati di internal dan diprotes pihak luar. Persoalan juga merentang antara DPR dan pemerintah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan banyak perubahan dan penghapusan daftar inventarisasi masalah (DIM) terhadap RUU usulan Dewan tersebut.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, dari 774 DIM, pemerintah hanya menyatakan 48 DIM tetap. Berikutnya, ada 4 DIM yang diusulkan diubah substansinya dan 100 DIM diubah redaksional. Pemerintah juga mengusulkan 72 DIM baru serta penghapusan 550 DIM.

Marwan mengatakan Komisi VIII belum akan membahas DIM bersama pemerintah. Dia beralasan, Dewan masih memerlukan masukan para pakar bagaimana sebaiknya rumusan pasal-pasal yang dipersoalkan. “Saya pikir mentok juga di DIM, kecuali kami menemukan rumusan final apa yang kami khawatirkan tadi,” ujarnya.

Dalam DIM-nya, Kementerian PPPA menyoal definisi kekerasan seksual. Dari sembilan definisi kekerasan seksual dalam draf yang dibuat DPR, Kementerian menghapus lima di antaranya, yakni pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual. Kementerian juga mengusulkan perubahan redaksional, dari pelecehan seksual menjadi pencabulan.

Diah menjelaskan salah satu definisi di atas. Pemaksaan kontrasepsi, kata Diah, masuk dalam rumusan definisi kekerasan dengan alasan empirik. Dia mengungkapkan ada banyak perempuan disabilitas yang diperkosa berkali-kali di rumah atau panti tempat tinggal mereka, sekaligus dipakaikan kontrasepsi agar tidak hamil. “Mereka sudah dianggap lemah secara sosial, kemudian dipakaikan kontrasepsi secara paksa. Bagaimana nasibnya?”

Baca juga: Menteri Yohana Ingin Pelaku Pelecehan Baiq Nuril Dihukum

Pembahasan RUU PKS juga terkendala masalah jadwal di masa persidangan ini. Marwan mengatakan RUU PKS kemungkinan tak akan bisa banyak dibicarakan di masa persidangan kedua yang berlangsung sejak 21 November hingga 13 November nanti.

Padahal, Ketua DPR Bambang Soesatyo sebelumnya sudah buka suara. Tersengat kasus menimpa Baiq Nuril Makmun yang dihukum lantaran merekam tindakan pelecehan seksual yang dialaminya, Bamsoet, sapaan Bambang, mengatakan Dewan akan mengebut pembahasan RUU PKS. Bamsoet mengatakan DPR akan membahas RUU PKS setelah reses masa persidangan pertama yang berakhir 20 November lalu.

Bamsoet juga menampik adanya anggapan DPR tak serius. “Jika ada anggapan DPR RI tak serius menyelesaikan RUU ini karena sebagian besar anggota dewan adalah pria, ini salah besar,” kata Bamsoet melalui keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin, 19 November.

Menurut Marwan, pembahasan RUU PKS tak bisa digeber lantaran Dewan harus berfokus merampungkan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah terlebih dulu. RUU Haji dan Umrah ini sebenarnya telah menjadi prolegnas prioritas sejak 2015, tetapi belum juga rampung.

Sara Djojohadikusumo berharap RUU PKS bisa segera dibahas. Kendati berusaha optimistis RUU itu bisa disahkan di periode sekarang, Sara agaknya tak yakin hal itu terealisasi sebelum Pemilihan Umum 2019. Sara tak memungkiri saat ini anggota Dewan lebih banyak berkegiatan di daerah pemilihan masing-masing demi kepentingan elektoral di pemilihan legislatif 2019.

Selain terkendala definisi dan jadwal persidangan, Marwan membeberkan hambatan lain. RUU PKS juga ibarat tersandera kebuntuan pembahasan revisi Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Komisi Hukum DPR.

“Kami ingin bertanya ke Komisi tiga, mengapa mentok juga, karena kaitan itu juga ada di sini, karena kami kan pelengkap UU KUHP,” kata Marwan.

Revisi UU KUHP yang sempat dijanjikan disahkan pada 17 Agustus lalu akhirnya molor. Pemerintah dan DPR menuai kritik berniat memasukkan perluasan pasal terkait kesusilaan yang meregulasi zina dan homoseksual. Perluasan ini dinilai akan menimbulkan masalah baru oleh sejumlah ahli hukum dan aktivis hak asasi manusia.

Sebab, pemerintah dan DPR dinilai belum memikirkan implikasi pemberlakuan pasal-pasal yang dinilai kontroversial itu. Implikasi yang dimaksud meliputi kesiapan aparat penegak hukum dan kapasitas lembaga permasyarakatan.

Sara berpendapat RUU PKS tak perlu menunggu revisi KUHP rampung. Sebab, jika RUU PKS disahkan terlebih dulu, KUHP-lah yang harus menyesuaikan lantaran dua undang-undang ini posisinya setara.

Diah Pitaloka menambahkan, kedua undang-undang tersebut semestinya satu paradigma, tergantung siapa yang lebih dulu ditetapkan. Namun, dia mengakui terjadi perdebatan sengit terhadap RUU PKS dan revisi KUHP itu.

Baca juga: Pemerintah Tak Punya Regulasi untuk Kekerasan Seksual di Kampus

“Sekarang tinggal dulu-duluan. Apakah nanti disahkannya RUU PKS mewarnai kebuntuan di KUHP, atau KUHP yang memberi kita ide untuk pasal itu,” ujar Diah.

Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Marosong belum dapat dimintai keterangan soal komitmen membahas dan merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Panggilan telepon Tempo tak tersambung, sedangkan pesan yang dikirimkan melalui Whatsapp hanya dibaca.

Berita terkait

Ketua KPU Hasyim Asy'ari Dilaporkan untuk Dugaan Asusila, Apa yang Masuk Kategori Pelecahan Seksual?

10 hari lalu

Ketua KPU Hasyim Asy'ari Dilaporkan untuk Dugaan Asusila, Apa yang Masuk Kategori Pelecahan Seksual?

Ketua KPU Hasyim Asy'ari telah dilaporkan ke DKPP atas dugaan asusila terhadap seorang perempuan anggota PPLN. Ini aturan pidana pelecehan seksual.

Baca Selengkapnya

Kiai Abal-Abal Pemerkosa Santri di Semarang Divonis 15 Tahun Bui, Mantan Jamaah Harap Laporan Penggelapan Uang Segera Diusut

14 hari lalu

Kiai Abal-Abal Pemerkosa Santri di Semarang Divonis 15 Tahun Bui, Mantan Jamaah Harap Laporan Penggelapan Uang Segera Diusut

Muh Anwar, kiai abal-abal Yayasan Islam Nuril Anwar serta Pesantren Hidayatul Hikmah Almurtadho divonis penjara 15 tahun kasus pemerkosaan santri.

Baca Selengkapnya

Bercanda Soal Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan Akui Salah dan Minta Maaf

18 hari lalu

Bercanda Soal Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan Akui Salah dan Minta Maaf

Ivan Gunawan mengunggah video pada Ahad petang ini untuk meminta maaf atas candaan kekerasan seksual yang dilontarkannya.

Baca Selengkapnya

Panen Hujatan Usai Buat Candaan Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan: Tarik Napas Dalam-dalam

19 hari lalu

Panen Hujatan Usai Buat Candaan Kekerasan Seksual, Ivan Gunawan: Tarik Napas Dalam-dalam

Ivan Gunawan menuai hujatan tajam usai membuat lelucon tentang kekerasan seksual yang melibatkan Saipul Jamil.

Baca Selengkapnya

Kecanduan Pornografi Meningkat sejak Pandemi, Begini Kata Pakar

21 hari lalu

Kecanduan Pornografi Meningkat sejak Pandemi, Begini Kata Pakar

Kecanduan pornografi meningkat di masa pandemi Covid-19 bahkan anak yang masih kecil pun sudah terpapar.

Baca Selengkapnya

BEM UI Kritik Penganiayaan TNI Terhadap Warga Papua, Dibalas Serbuan Tantangan KKN di Wilayah KKB Papua

25 hari lalu

BEM UI Kritik Penganiayaan TNI Terhadap Warga Papua, Dibalas Serbuan Tantangan KKN di Wilayah KKB Papua

Ini berawal saat BEM UI mengunggah kritik yang menyoroti kasus penganiayaan warga di Papua oleh aparat.

Baca Selengkapnya

13 Anggota Satgas PPKS UI Mundur, Apa Tugas dan Wewenang PPKS di Perguruan Tinggi?

28 hari lalu

13 Anggota Satgas PPKS UI Mundur, Apa Tugas dan Wewenang PPKS di Perguruan Tinggi?

13 anggota Satgas PPKS UI mengundurkan diri. Bagaimana tugas dan wewenang PPKS perguruan tinggi tangani kekerasan seksual di lingkungan kampus?

Baca Selengkapnya

13 Anggota Satgas PPKS UI Kompak Mundur, Ini Alasannya

29 hari lalu

13 Anggota Satgas PPKS UI Kompak Mundur, Ini Alasannya

Ketua Satgas PPKS UI Manneke Budiman menegaskan bahwa pernyataan pengunduran diri tersebut telah disepakati semua anggota.

Baca Selengkapnya

Kiai Abal-Abal Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Santri di Semarang Dituntut 15 Tahun Penjara

35 hari lalu

Kiai Abal-Abal Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Santri di Semarang Dituntut 15 Tahun Penjara

Bayu Aji Anwari, pimpinan Yayasan Islam Nuril Anwar Kota Semarang dituntut 15 tahun penjara. Didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap 6 santri.

Baca Selengkapnya

Fakultas Filsafat UGM Dalami Dugaan Kekerasan Seksual Mahasiswa dengan Korban 8 Orang

44 hari lalu

Fakultas Filsafat UGM Dalami Dugaan Kekerasan Seksual Mahasiswa dengan Korban 8 Orang

Fakultas Filsafat UGM menunggu laporan dari para korban untuk penanganan yang lebih tepat dan cepat.

Baca Selengkapnya