TEMPO.CO, Jakarta - Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan mulai terkuak satu per satu. Diawali dengan mencuatnya tragedi dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Agni (bukan nama sebenarnya) hingga munculya kriminalisasi terhadap mantan pegawai honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril, baru-baru ini.
Baca: Ketika Korban Kekerasan Seksual Berhadapan dengan Proses Hukum
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) menyatakan pemerintah belum memiliki regulasi khusus untuk kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Koordinator Perubahan Hukum LBH Apik Veni Siregar mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang selama ini dipakai sebagai dasar menjerat pelaku kekerasan seksual hanya mengakomodasi hukuman perbuatan cabul.
"Data yang kami miliki, tidak ada regulasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang melindungi korban kasus kekerasan seksual di sekolah atau kampus," kata Veni dalam konferensi pers Potret Buram Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 25 November 2018.
Baca: LBH APIK Kritik Polisi soal Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Pernyataan Veni ini senada dengan Koordinator Bidang Sosial-Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Danu Pratama Aulia. Danu mengatakan dalam studinya, ia belum menemukan adanya mekanisme khusus yang diadakan kampus-kampus Indonesia untuk mengatur kasus kekerasan seksual. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kampus-kamlus kenamaan di luar negeri. Misalnya Harvard University.
Kampus internasional itu, kata dia, telah siap dengan sebuah lembaga yang bernama crisis center. Keberadaannya berfungsi untuk menampung hingga menyelesaikan sejumlah kasus. Termasuk, kata dia, kekerasan seksual yang terjadi akibat adanya ketimpangan relasi gender.
Baca: Cerita Kelam Korban Kekerasan Seksual, Melawan Trauma dan Stigma
Danu pun mendorong kampus-kampus di Indonesia memiliki sistem yang sama. Sebab, menurut dia, angka pelecehan seksual di lingkungan kampus cukup darurat. Dalam siginya yang dilakukan bersama BEM FH UI, Danu menemukan 21 orang dari 177 responden pernah mengalami pelecehan seksual di UI.
Selain itu, 39 dari seluruh responden itu mengaku pernah mengetahui kasus kekerasan seksual tersebut terjadi. Namun dari angka ini, hanya 11 kasus yang dilaporkan oleh mahasiswa. Alasannya, sebanyak 79 persen korban mengaku tak tahu perihal prosedur pelaporan tersebut. Alasan lain, korban emoh mendapat stigma buruh di lingkungan pendidikan.