Kasus BLBI, Mantan Kepala BPPN Dituntut 15 Tahun Penjara
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Ninis Chairunnisa
Senin, 3 September 2018 17:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Jaksa KPK menyatakan Syafruddin terbukti bersalah dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
"Penuntut umum dalam perkara ini menuntut supaya majelis hakim memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa KPK, Chaerudin membacakan berkas tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 3 September 2018.
Baca: Tim Hukum BPPN: Sjamsul Nursalim Tak Jujur Soal Utang Petambak
Jaksa KPK menyatakan Syafruddin menerbitkan SKL tersebut meski mengetahui ada misinterpretasi yang dilakukan pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim terkait piutang petambak. Menurut jaksa, Syafruddin terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira milik Sjamsul. Piutang petambak senilai Rp 4,8 triliun itu merupakan salah satu aset yang diserahkan Sjamsul untuk membayar BLBI.
Jaksa menyatakan penghapusbukuan terhadap utang itu dibahas dalam rapat kabinet terbatas dengan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 11 Februari 2004. Dalam rapat itu, Syafruddin melaporkan soal hutang petani tambak Dipasena yang berjumlah Rp 3,9 triliun.
Menurut jaksa, Syafruddin melaporkan sebanyak Rp 2,8 triliun hutang itu macet, sementara Rp 1,1 triliun sisanya bisa ditagih. Syafruddin mengusulkan penghapusbukuan terhadap Rp 2,8 triliun kredit macet tanpa melaporkan adanya misinterpretasi yang dilakukan Sjamsul. Rapat tak mengambil keputusan, namun Syafruddin dituding membuat seolah rapat menyetujui usulannya.
Baca: Megawati Belum Diperiksa dalam Kasus BLBI, Ini Alasan KPK
"Terdakwa mengetahui belum ada persetujuan presiden terkait penghapusbukuan utang petambak tapi terdakwa tetap mencantumkan usulan penghapusan porsi utang petambak sebesar Rp 2,8 triliun," kata jaksa Chaerudin.
Sehari setelah ratas, Syafruddin disebut tetap menandatangani ringkasan eksekutif yang dia usulkan dalam ratas kepada Ketua Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro Jakti. KKSK akhirnya mengeluarkan keputusan yang isinya antara lain menyetujui pemberian bukti penyelesaian kewajiban kepada Sjamsul. "Perbuatan terdakwa telah menghilangkan hak tagih negara terhadap Sjamsul Nursalim," kata jaksa.
Atas perbuatannya, jaksa menyatakan Syafruddin telah merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun dan memperkaya Sjamsul, selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Jaksa menyatakan hal yang memberatkan tuntutan Syafruddin adalah perbuatannya dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Syafruddin juga dianggap pelaku aktif dalam penerbitan SKL dan menimbulkan kerugian negara. Syafruddin juga dianggap tidak berterusterang dan tidak menyesali perbuatannya. Adapun hal yang meringankan, Syafruddin dianggap belum pernah dihukum dan berlaku sopan selama persidangan.
Baca: Syafruddin Jalani Sidang Pembacaan Tuntutan dalam Kasus BLBI