Kata Ketum Muhammadiyah Soal Kasus Penistaan Agama Meiliana
Reporter
Antara
Editor
Juli Hantoro
Kamis, 23 Agustus 2018 15:37 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir ikut bersuara atas kasus penistaan agama yang dialami warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, Meiliana.
Baca juga: Kerusuhan Tanjungbalai Jadi Kasus Penistaan Agama
Haedar meminta semua pihak memupuk dimensi kedewasaan dan toleransi. "Ini saya pikir perlu dipupuk kedewasaan sehingga tidak semua hal masuk ke ranah hukum," katanya ketika ditemui seusai silaturahmi dengan Presiden Joko Widodo di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Kamis, 23 Agustus 2018.
Menurut dia, jika sudah masuk ranah hukum seperti kasus Meiliana, semua pihak harus menghormati setiap keputusan pengadilan.
"Di luar itu, yang paling penting bagaimana kita seluruh warga bangsa yang beragama dan masyarakat itu terus saling memupuk toleransi, kuncinya di situ," katanya.
Ia menyebutkan ranah hukum merupakan ranah yang memang jelas hitam-putih dan kalau pihak yang bersengketa secara sosial tidak tuntas, dia masuk ke ranah hukum.
"Nah, kalau dihukum, kita terima putusan hukum, bagi yang tidak puas, bisa naik banding, tapi komitmen Muhammadiyah bagaimana toleransi dan saling memahami," ujar Haedar.
Baca juga: Tuduhan Serampangan bagi Meiliana
Ia mencontohkan, di masjid, orang semestinya tahu bagaimana menjaga perasaan orang yang berbeda agama, yang di gereja juga demikian.
"Warga juga jangan terlalu sensitif, kadang masyarakat kurang proporsional juga, kalau ada hiburan kadang tanpa izin, gede-gede suaranya, sering enggak terganggu, tapi ada suara azan dikit kencang aja, terganggu," katanya.
Haedar menegaskan perlunya dipupuk kedewasaan dan toleransi sehingga tidak semua hal masuk ke ranah hukum.
Ketika ditanya apakah suara azan harus keras, Haedar mengatakan azan harus terdengar orang lain sehingga tahu dipanggil untuk salat.
Baca juga: Ini Kronologi Kasus Penistaan Agama Meiliana di Tanjung Balai
"Kalau di dalam hati, enggak kedengaran jemaah. Soal seberapa volume suara itu tentu kan punya kadar masing-masing, bukan soal besar kecil suara azan, begitu juga nanti suara di gereja," tuturnya.
Haedar menyesalkan kadang ada rasa yang hilang antarwarga masyarakat. "Ini yang mesti kita bina, yang satu saking semangatnya azan kenceng sekali, yang satu terlalu sensitif juga, padahal ketika dengar lagu dangdut di samping dia enggak terganggu, ada sesuatu yang perlu didialogkan," katanya.