Di Israel, Yahya Staquf Bicara Soal Melanjutkan Langkah Gus Dur
Reporter
Taufiq Siddiq
Editor
Juli Hantoro
Selasa, 12 Juni 2018 19:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Katib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Staquf menyebut kehadirannya sebagai pemateri dalam kuliah umum The Israel Council on Foreign Relations oleh American Jewish Committee (AJC) merupakan bentuk melanjutkan langkah mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Ini kehormatan bagi kami, bagi NU, menjadi generasi yang meneruskan langkah yang telah dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid hingga kami bisa mengunjungi Yerusalem," ujar pria bernama lengkap Yahya Cholil Staquf itu dalam video yang diunggah di YouTube oleh akun AJC Global, Selasa, 12 Juni 2018.
Kuliah yang bertema "Shifting the Geopolitical Calculus: From Conflict to Cooperation" itu digelar di The David Amar Worldwide North Africa Jewish Heritage Center, Yerusalem.
Baca juga: Jokowi Lantik Mantan Juru Bicara Gus Dur Jadi Anggota Wantimpres
Rabbi David Rossen, yang memandu kuliah umum tersebut, mengatakan, 16 tahun lalu, Gus Dur hadir sebagai pemateri dalam forum AJC. Menurut dia, kehadiran Yahya saat ini bukan hanya sebatas melanjutkan langkah Gus Dur, tapi juga akan memberikan satu pertanda bagi dunia.
Menanggapi hal itu, Yahya menyebutkan apa yang dia dan murid-murid Gus Dur lain lakukan sebagai penerus sekarang adalah melanjutkan visi dan idealisme yang telah dikembangkan Gus Dur tentang keberlangsungan kehidupan manusia jangka panjang.
"Itu tidak bisa didapatkan dengan segera, dan Gus Dur telah melakukan bagiannya. Sekarang giliran kami murid-muridnya untuk melanjutkannya, dan kami merasa beruntung atas itu," ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden tersebut.
Menurut Yahya, hal yang telah diajarkan Gus Dur membawa Indonesia ke arah yang lebih mampu untuk melihat segala sesuatu dengan lebih jelas. "Hingga kami mencapai satu titik di mana kami bisa melihat sesuatu lebih jelas," ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Yahya Staquf menjelaskan, salah satu ide yang NU tawarkan sebagai solusi bagi konflik di dunia terutama konflik agama adalah rahmat atau kasih sayang dan kepedulian satu sama lain.
Yahya berpendapat orang yang tidak memiliki rahmat dan kepedulian kepada orang lain tidak akan bisa memberikan keadilan bagi orang lain. "Kita harus memilih rahmat karena ini adalah awal dari semua hal baik yang kita selalu idamkan. Jika kita memilih rahmat, baru kita bisa berbicara soal keadilan," tuturnya.
"Jika saya ingin berkata kepada dunia, saya akan serukan untuk memilih rahmat," katanya, yang kemudian langsung disambut tepuk tangan peserta kuliah tersebut.