Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas (kiri) memberi dokumen pengesahan kepada menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat rapat paripurna pembahasan revisi Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) di Senayan, Jakarta, 12 Februari 2018. Panitia kerja (Panja) Revisi UU MD3 dan Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM sepakat menambah 1 kursi pimpinan DPR, 3 di MPR dan 1 di DPD. TEMPO/Fakhri Hermansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly membuka ruang bagi pihak-pihak yang tak menyetujui pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Pernyataan Yassona itu menyikapi Dewan Perwakilan Rakyat yang telah mengesahkan Rancangan Udang-Undang MD3 menjadi undang-undang, Senin, 12 Februari 2018.
"Kalau enggak setuju, boleh saja. Kalau merasa itu melanggar hak, ada MK. Enggak apa-apa biar berjalan saja," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Dalam pengesahan tersebut Fraksi NasDem dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan memilih walkout dari ruang rapat paripurna. Mereka beralasan pengesahan ini terburu-buru dan sarat dengan kepentingan pragmatis kelompok tertentu di parlemen.
Politikus PPP Arsul Sani mempersoalkan pengisian tambahan kursi pimpinan MPR. Ia menilai pengisian kursi pimpinan MPR harus melibatkan lembaga DPD. "Kita mengetahui di MPR tidak hanya fraksi yang sama di DPR tapi ada unsur DPD," ujar dia.
Arsul juga menilai pengesahan menjadi undang-undang berpotensi melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-VII/2009 tentang cara pengisian tambahan pimpinan MPR. "MK selaku penafsir tunggal konstitusi kata 'ditetapkan' harus dilekatkan dengan kata 'dipilih'. Konstitusi kita telah menetapkan dengan pemilihan," katanya.
Namun Yasonna menganggap perbedaan pendapat dalam pembahasan RUU MD3 tersebut wajar-wajar saja. "Itu tergantung perspektif masing-masing, sah-sah saja. Bukan sekali ini undang-undang berbeda pendapat. Nanti ada gilirannya, ada yang menguji silakan saja," ujarnya.