Maqdir: Ada yang Minta Setya Novanto Jadi Justice Collaborator
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Juli Hantoro
Selasa, 16 Januari 2018 01:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Setya Novanto, Maqdir Ismail menuding ada pihak yang meminta kliennya untuk mengajukan diri sebagai Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengungkap kasus korupsi proyek e-KTP.
"Sepanjang yang saya tahu, saya harus jujur, beliau diminta oleh orang tertentu untuk Justice Collaborator," kata Maqdir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin, 15 Januari 2018.
Baca juga: Pertimbangan KPK Jika Setya Novanto Mau Jadi Justice Collaborator
Maqdir tak menjelaskan siapa pihak yang di maksud. Ketika ditanya wartawan tentang pihak tersebut, Maqdir malah mengarahkannya ke KPK. "Silahkan tanya ke KPK ajalah, apakah betul mereka pernah meminta atau tidak, saya kira itu jauh lebih baik dari pada saya salah nanti," katanya.
Terkait syarat-syarat menjadi justice collaborator yang salah satunya mengakui perbuatan, Maqdir memberikan tafsirnya. Menurut dia, mengakui perbuatan tersebut bukan berarti mengakui dakwaan jaksa. Salah satu hal yang menjadi keberatan Maqdir terkait dana yang diterima Setya Novanto. "Bahwa harus mengakui sesuatu yang tidak dia lakukan saya kira berlebihan," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan bahwa justice collaborator berdasarkan pengajuan. "Justru kita belum tentu akan menerima JC karena masih dipelajari," katanya melalui pesan singkat.
Sebelumnya, Febri mengatakan KPK masih mempelajari dan mempertimbangkan ihwal Justice Collaborator tersebut. Pertimbangan itu terkait dengan syarat-syarat untuk menjadi JC yang harus dipenuhi Setya Novanto.
Syarat pertama kata Febri, seorang JC harus mengakui perbuatannya terlebih dahulu. Kedua, seorang JS harus bersedia terbuka menyampaikan informasi yang benar tentang dugaan keterlibatan pihak lain yaitu aktor yg lebih tinggi atau aktor intelektual atau pihak-pihak lain yg terlibat. Ketiga, orang yang menjadi JS bukan merupakan pelaku utama dalam perkara.
Terkait pelaku utama dalam suatu perkara, Febri menjelaskan hal tersebut dapat dilihat dari dominasi peran, aktor intelektual gdan banyaknya keuntungan yang diperoleh. "Apalagi dalam kasus e-KTP dugaan kerugian negara sangat besar Rp 2,3 triliun," katanya Rabu, 10 Januari 2018.
Baca juga: Tanggapan KPK soal Status Justice Collaborator bagi Setya Novanto
Menurut Febri, konsekuensi dari seseorang yang menerima JC adalah tuntutan hukumannya akan lebih ringan. Setelah menjadi terpidana, JC bisa menerima pemotongan masa tahanan dan juga hak-hak narapidana lain yang bisa diberikan secara khusus.
"Harus kita analisis dulu apakah seseorang bisa menjadi JC atau tidak. Tentu butuh waktu dan fakta-fakta dan butuh konsistensi juga," katanya.
Setya Novanto didakwa dengan dua pasal yang yakni Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman maksimal seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara.