TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, mengirim surat berlabel rahasia ke Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, Jumat lalu. Surat itu ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali sehari sebelumnya. Isinya, seluruh pimpinan MA sepakat menolak rekomendasi Komisi Yudisial agar hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi diberi sanksi.
"Itu hasil dari keputusan pimpinan yang solid," kata Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dalam peringatan Hari Ulang Tahun MA ke-70, Rabu, 19 Agustus 2015,. "Kami satu pendapat."
Surat penolakan tersebut adalah hasil rapat pleno pimpinan Mahkamah Agung. Rapat digelar setelah Ketua Bidang Investigasi Komisi Yudisial Eman Suparman mengirim rekomendasi seusai Idul Fitri. (Lihat Video Tak Mau Cabut Laporan, Sarpin: Saya Terlalu Sakit Hati)
Penolakan MA memberi sanksi kepada Sarpin atas rekomendasi Komisi Yudisial ini semakin mempertegas ketidakharmonisan kedua lembaga tersebut. MA dituding kerap mengabaikan rekomendasi KY. Padahal Komisi dibentuk untuk memberi pengawasan secara independen kepada para hakim di bawah Mahkamah Agung. MA juga dikabarkan menginginkan agar pencantuman KY dalam konstitusi dihapuskan.
Ihwal rekomendasi kepada Sarpin, ini bermula dari sidang praperadilan yang menggegerkan. Adalah Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang menggugat penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sarpin, yang menangani sidang itu, mengabulkan permohonan Budi. Banyak yang menganggap putusan Sarpin ini janggal karena banyak hal. Atas dasar itulah, KY mengevaluasi keputusan Sarpin tersebut.
Dalam rekomendasi sanksi, Komisi Yudisial memaparkan alasan Sarpin terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Dalam putusan praperadilan Budi Gunawan, Sarpin dinilai tak teliti dan tidak profesional sebagai hakim. Pasalnya, Sarpin salah mencantumkan identitas guru besar Universitas Parahyangan, Arief Sidharta, sebagai ahli pidana, padahal semestinya ahli filsafat hukum.
Bahkan Sarpin juga dinilai salah atau memelintir kesaksian Arief yang digunakan sebagai dasar pertimbangan putusan untuk menggugurkan status tersangka Budi Gunawan.
Putusan dinilai bermasalah karena melanggar batasan Pasal 77 KUHAP yang tak mencantumkan status tersangka sebagai obyek materi praperadilan.
Selain putusan, Komisi Yudisial menuding Sarpin tak rendah hati dan menerima gratifikasi. Sebagai hakim, Sarpin justru menunjukkan sikap emosional dengan melontarkan kalimat kasar melalui media dan melaporkan sejumlah tokoh yang mengkritik putusannya ke polisi.
Sarpin tak patuh kepada Komisi Yudisial dengan menolak hadir dalam pemeriksaan kasus dugaan pelanggaran etik. Ia juga secara gamblang menerima jasa pengacara Hotma Sitompoel secara gratis.
Meski memberikan sejumlah alasan perlunya memberi sanksi kepada Sarpin, MA kukuh membela hakim tersebut. Menurut Hatta, putusan Sarpin masuk dalam teknis yudisial, maka Komisi Yudisial tidak berwenang mengomentarinya. Rekomendasi tersebut salah sasaran. Hatta juga membela Sarpin untuk hal-hal lain yang dituduhkan KY. "Semua sudah kami jawab. Kami tak menemukan ada pelanggaran," kata Hatta.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia menilai, persoalan tentang batasan antara teknis yudisial dan etik akan terus muncul dan jadi batu sandungan penegakan hukum. Mahkamah Agung akan mudah menampik rekomendasi sanksi Komisi Yudisial dengan dalih tersebut.
Menurut Ketua Divisi Riset MaPPI Dio Ashar Wicaksana, kesalahan kutip kesaksian dan jabatan tak melulu soal teknis yudisial. Dalam kesalahan tersebut, ada unsur pelanggaran pedoman perilaku hakim. Sebagai seorang pemutus perkara, hakim wajib teliti dan profesional.
"MA dan KY harus duduk bersama untuk menentukan soal batasan teknis yudisial," kata Dio. "Jadi, kalau memberikan rekomendasi, lebih efektif."
Sebelumnya, Sarpin sendiri mengkritik langkah Komisi Yudisial mengetok rekomendasi sebagai aksi cari panggung para komisioner. Ia berkukuh, lembaga pengawasan hakim tersebut tak memiliki kewenangan untuk menilai putusan yang merupakan ranah teknis yudisial. Ia juga mengklaim dirinya telah menjalani pemeriksaan dan dinyatakan clear oleh Badan Pengawasan MA. “Saya mempertanggungjawabkan putusan kepada Tuhan, bukan KY,” kata Sarpin saat ditemui Tempo, akhir Juli 2015. (Lihat Video Anggota KY Jadi Tersangka, Lembaga Negara Lainnya Berpotensi Dikriminalkan)
Kuasa hukum Sarpin, Dion Pongkor, juga menyambut baik keputusan Mahkamah Agung dengan dalih rekomendasi Komisi Yudisial sudah masuk pada materi perkara. Ia juga menilai tudingan soal gratifikasi atas jasa beracara gratis dari bosnya, Hotma Sitompoel, tak beralasan dan tendensius.
"Tak ada dasar aturan kalau hakim tak boleh menerima bantuan hukum pengacara pro bono," kata Dion. "Rekomendasi KY itu tak obyektif."
Komisi Yudisial hingga saat ini tak banyak memberikan komentar atas penolakan lagi rekomendasi yang diajukan ke Mahkamah Agung. Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Imam Anshori Saleh berdalih lembaganya belum menggelar rapat pleno tentang surat penolakan rekomendasi tersebut.
Lembaga penjaga martabat hakim ini juga belum memutuskan apakah akan mengajukan permintaan pemeriksaan bersama untuk kasus Sarpin. Langkah ini sebenarnya terjamin sesuai dengan Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, yang mewajibkan MA dan KY melakukan pemeriksaan bersama jika berbeda pendapat tentang sanksi bagi hakim. "Biasanya, kalau MA menolak sanksi, KY akan menerima saja," kata Imam.
FRANSISCO ROSARIANS