Juru bicara Koalisi Merah Putih, Tantowi Yahya (ketiga kiri) bersama para sekretaris jenderal partai anggota koalisi memberikan keterangan kepada wartawan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, 21 Agustus 2014. Koalisi Merah Putih mengakui keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta terkait perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden 2014. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, menyebut argumentasi anggota parlemen yang mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah gampang dipatahkan.
“Tak sulit untuk mencari alasan menolak hadirnya undang-undang yang mengkhianati kedaulatan rakyat itu,” kata dia saat dihubungi, Senin, 8 September 2014. (Baca: Bupati Bantaeng: RUU Pilkada Lukai Rakyat)
Sebastian menyebut setidaknya tiga argumen partai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang menjadi dalil untuk mengesahkan rancangan undang-undang tersebut. Pertama, pemilu langsung dinilai menyebabkan ongkos politik yang amat besar. “Tapi pemilihan langsung lebih baik ketimbang penunjukkan seperti pada era otoritarian,” tanyanya.
Alasan kedua, kata dia, pemilu langsung merupakan ujian bagi kedewasaan politik rakyat. Selama hampir sepuluh tahun ini, dia menilai pemilihan langsung sudah terselenggara dengan baik. “Kekhawatiran bahwa pemilu langsung dapat menyebabkan perpecahan di antara masyarakat itu alasan tak berdasar. Sifatnya kasus per kasus, bukan masalah yang terjadi di seluruh daerah,” katanya. (Baca juga: UU Pilkada Sah, Koalisi Prabowo Borong 31 Gubernur)
Adapun alasan ketiga, Sebastian menjelaskan, pemilu tidak langsung bukan jaminan praktek politik uang hilang atau bahkan berkurang sama sekali. Menurut dia, praktek politik uang sebenarnya dikenalkan oleh elite politik yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. “Uang ialah kompensasi dari keinginan menjaring suara rakyat sebab calon pemimpinnya tidak mengakar dan tidak dekat dengan rakyat,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dia tak ragu untuk menyuarakan penolakannya pada wacana pemilu kepala daerah oleh parlemen. Sebastian menilai pengesahan rancangan itu merupakan kemunduran. Pemilihan kepala daerah lewat DPRD mengebiri kedaulatan rakyat.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, ada persoalan yang akan terjadi seusai DPR mengesahkan UU Pilkada.