TEMPO.CO, Jakarta - Biaya yang dikeluarkan setiap calon kepala daerah ternyata sangat jauh dari kekayaan yang dimilikinya. Ini merupakan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penelitiannya.
"Ada calon kepala daerah yang hartanya nol, bahkan 18 calon hartanya minus tapi maju dalam pemilihan kepada daerah," kata Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan ketika memaparkan studinya kepada wartawan di gedung KPK pada Rabu, 29 Juni 2016.
Pahala mengaku heran dan bertanya-tanya dari mana biaya kampanye calon tersebut. Kami pikir pasti ada yang memberikan sumbangan, ujar dia, dan itu adalah praktek biasa. "Kami pikir waktu itu dana mereka didapat dari mana?" ujarnya.
Pahala mengatakan penelitian ini dilakukan berdasarkan studi Kementerian Dalam Negeri bahwa biaya yang dikeluarkan setiap calon jauh dari kekayaan yang dia punya. Pertanyaan penelitian KPK adalah apakah biaya kampanye yang besar berkorelasi dengan kekayaan calon itu? Pahala mengatakan ternyata datanya tidak tersedia.
KPK meneliti dana kampanye ini setelah penyelenggaraan pilkada pada Desember 2015. "Kami lakukan wawancara langsung ke-286 calon kepala daerah yang kalah," ucapnya.
KPK sengaja memilih calon yang kalah untuk mengetahui pendanaan mereka selama masa kampanye. Dari jumlah itu, KPK mewawancarai 79 pasangan calon secara lengkap. Sisanya adalah calon kepala daerah atau hanya calon wakil kepala daerah.
Temuan lain dari KPK adalah 50 persen dari calon, pendidikan terakhirnya strata 2 dan strata 3. Lalu ada 38 persen calon yang strata 1. Jika digabung, sekitar 88 persen calon lulusan pendidika tinggi. Calon yang tamat sekolah menengah atas kemungkinan hanya 8 persen.
Temuan lain, pasangan calon yang punya harta banyak atau kaya belum tentu menang dalam pilkada. "Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), yang kaya ternyata dia bisa kalah juga. LHKPN-nya yang tidak kaya bisa menang," tutur Pahala.
REZKI ALVIONITASARI