MK Tuding Perppu MK Beri Stigma Buruk Politikus
Editor
Elik Susanto
Kamis, 13 Februari 2014 20:38 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bahwa syarat minimal tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik sebagai hakim konstitusi adalah bentuk stigmatisasi terhadap kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar. Pandangan ini tertuang dalam pertimbangan hukum atas putusan pengujian Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Kamis 13 Februari 2014.
"Sulit untuk dilepaskan anggapan bahwa ayat ini tidak didasarkan atas kenyataan bahwa Akil Mochtar berasal dari politisi/Anggota DPR sebelum menjadi Hakim Konstitusi. Dengan demikian, Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 dicantumkan berdasarkan stigma yang timbul dalam masyarakat," kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, saat membacakan pertimbangan hukum putusan pengujian Undang-Undang tentang Penetapan Perppu MK tersebut.
Menurut Mahkamah Konstitusi, hak untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk menjadi anggota partai politik dijamin Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan juga dijamin Pasal 28Dayat (3) UUD 1945.
Ahmad Fadlil melanjutkan, stigmatisasi biasanya menggeneralisasi, yaitu apa yang telah terjadi pada Akil Mochtar kemudian dijadikan dasar bahwa setiap anggota partai politik pastilah tidak pantas menjadi Hakim Konstitusi. (Baca: Dalih Hakim Konstitusi Batalkan UU Pengawas MK)
"Stigmatisasi seperti ini menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang terkena stigmatisasi tersebut padahal haknya dijamin oleh UUD 1945. Hak untuk menjadi Hakim Konstitusi bagi setiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan," kata Fadlil.
<!--more-->
Dia juga menegaskan bahwa korupsi haruslah diberantas memang benar. Tapi, memberikan stigma dengan menyamakan semua anggota partai politik sebagai calon koruptor, berkepribadian tercela, tidak dapat berlaku adil, sehingga tidak memenuhi syarat menjadi Hakim Konstitusi, suatu penalaran yang tidak benar. (Baca: Perppu MK Ketika Disetujui)
Ahmad Fadlil mengungkapkan Mahkamah Konstitusi pernah memutus satu ketentuan dalam undang-undang yang didasarkan atas suatu stigma, yaitu larangan bagi seorang warga negara untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang terlibat tidak langsung dalam peristiwa G30S/PKI.
"Larangan melakukan hukuman politik berdasarkan stigma tersebut harus berlaku pula untuk perkara a quo, yaitu tidak membuat aturan berdasarkan stigmatisasi baik terhadap anggota partai politik atau anggota DPR, maupun kelompok atau golongan masyarakat lainnya, untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Hakim Konstitusi," katanya.
Dari segi original intent pengajuan Hakim Konstitusi dari DPR dimaksudkan bahwa DPR bebas memilih calon Hakim Konstitusi termasuk dari anggota DPR yang memenuhi syarat. Asalkan, kata dia, pada saat menjadi Hakim Konstitusi melepaskan keanggotaannya dari partai politik.
"Sumber calon Hakim Konstitusi haruslah dibuka seluas-luasnya dari berbagai latar belakang, sepanjang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan," tegas Fadlil.
PRIHANDOKO | ANTARA
Berita Terkait
Bersaksi di Sidang, Hakim Usman Kaget soal Akil
|Siang Ini, MK Putuskan Uji Materi UU MK
Hakim MK Jadi Saksi Chairun Nisa