TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU Robikin Emhas mengatakan, organisasinya menolak pelaksaan kebijakan full day school atau lima hari sekolah dalam sepekan.
Menurutnya, peraturan ini tidak akan menjadi solusi pembangunan karakter bangsa. "Justru akan memberikan kontribusi terperosoknya masa depan bangsa," kata Robikin di Hotel Acacia, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin, 7 Agustus 2017, terkait program full day school yang dicanangkan pemerintah.
Baca juga:
Perpres Soal Full Day School Segera Terbit
Menurut Robikin, full day school merupakan penyeragaman sistem pendidikan. "Sikap kami tegas dan jelas, tolak FDS. Dan yang kami tolak bukan saja implementasi Permendikbud 23/2017, tapi kebijakannya," katanya.
Berdasarkan data penelitian Wahid Institute, kata Robikin, bahwa tumbuhnya virus radikalisme dan intoleran 6,8 persen tumbuh di sekolah umum. Saat ini jumlah siswa di sekolah umum sekitar 50 juta orang. "Dalam 15 tahun kedepannya para siswa akan mempunyai peranan penting di masyarakat, bisa dibayangkan betapa isu mendasar seperti intoleransi akan makin melebar," katanya.
Baca pula:
NU Menolak Sekolah Lima Hari, Said Aqil: Bukan Sentimen Ormas
Selama ini, menurut Robikin, tradisi pesantren telah membangun harmoni dari kemajemukan bangsa. Jangan sampai penyeragaman lewat full day school atau lima hari sekolah mematikan sistem pengembangan karakter yang telah dilaksanakan pada madrasah diniyah. "Kita sudah mengetahui bersama sistem pendidikan di NU menjadi pabrik utama tumbuhnya Islam yang moderat," ujaranya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pasal 2 Permendikbud tersebut mengatur hari sekolah dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu. Kemendikbud mengatakan aturan ini merupakan pendidikan karakter dalam 8 jam.
IRSYAN HASYIM