TEMPO.CO, Jakarta - Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Ruby Khalifah meminta polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Perpu Ormas disetop karena kini yang lebih penting adalah mengawal penerapannya.
"Tinggal kerja keras dan tegas dari kita semua dan masyarakat sipil untuk mengawasi implementasinya. Stop polemik dengan perpu, sekarang bangsa dalam kondisi genting," katanya dalam diskusi di kantor DPP PKB, Jakarta, Ahad, 23 Juli 2017.
Ruby mengakui adanya ketidaksempurnaan regulasi pemerintah. Namun, kata dia, saat ini negara membutuhkan soliditas dari level pimpinan sampai masyarakat sipil untuk mengawasi pelaksanaan perpu ini.
"Jangan sampai perpu ini untuk menghabisi kelompok minoritas. Namun bukan berarti perpu ini memberangus demokrasi," ujarnya.
Baca:
Muhaimin Sebut PKB Buka Peluang Dampingi HTI Gugat Perpu Ormas
Tolak Perpu Ormas, Polisi Belum Terima Rencana Aksi GNPF MUI
Pemerintah menerbitkan Perpu Ormas untuk menertibkan organisasi massa yang dinilai mengancam ideologi dan dasar negara Pancasila.
Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi pertama yang dibubarkan dengan perpu ini. HTI pun berencana menggugat perpu ini ke Mahkamah Konstitusi.
Senada dengan Ruby, Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama untuk Australia dan New Zaeland, Nadirsyah Hosen, meminta beleid yang mengatur organisasi kemasyarakatan itu tidak melanggar hak asasi manusia.
"Tapi tidak cukup, kebebasan ada batasannya. Kalau sudah menyentuh pilar bangsa, pemerintah harus melakukan langkah proteksi," ucapnya.
Menurut dia, Perpu Ormas dikeluarkan pemerintah untuk memproteksi empat pilar bangsa, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945. Perpu ini, kata dia, bukan berarti pemerintah anti-kritik. "Tapi kalau yang diancam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI, pilar bangsa tersebut harus diproteksi dan pemerintah tidak boleh gamang," tuturnya.
ARKHELAUS W.