TEMPO.CO, Yogyakarta - Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono menyatakan pihaknya menunggu arahan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) terkait beredarnya kabar yang menyebutkan sejumlah nama dosen di kampus itu menjadi pengurus atau simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“Kami masih menunggu arahan pusat dari Kemenristekdikti menindaklanjuti kabar itu,” ujar Panut Mulyono di sela menjadi pembicara dalam rapat kerja pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta di Hotel Inna Garuda, Jumat, 21 Juli 2017.
Baca juga: HTI Dibubarkan, Polri: Seluruh Anggota Dilarang Dakwah Khilafah
Panut menuturkan bahwa sejumlah nama dosen UGM aktif yang disebut-sebut terlibat kegiatan HTI sejauh ini memang belum dalam bentuk informasi resmi atau klarifikasi internal. “Kalau daftar resmi nama-nama (yang aktif di HTI) memang saya belum pernah terima, tapi kalau tersiar kabar memang ada. Makanya kami tunggu arahan pusat dulu” ujar Panut.
Pasca-pembubaran organisasi HTI secara resmi oleh pemerintah per 19 Juli 2017 sebagai tindak-lanjut dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, beredar sebuah dokumen berisi nama pejabat pemerintahan hingga akademisi yang selama ini diduga menjadi pengurus atau simpatisan HTI.
Dalam dokumen yang tak diketahui sumbernya itu, sejumlah nama akademisi UGM disebut menjadi pengurus atau simpatisan HTI. Setidaknya, terdapat 7 dosen UGM yang berasal dari Fakultas Ekonomi, Teknik, dan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Juga 3 dosen dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Hamfara Yogyakarta, termasuk Rektor STIE Hamfara yang tak lain adalah Juru Bicara HTI Ismail Yusanto. Ada pula 2 dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta serta satu dosen Universitas Muhammadyah Yogyakarta.
“Kami belum tahu pastinya (di UGM) berapa banyak yang terlibat (HTI),” ujar Panut.
Simak pula: Resmi Dibubarkan, HTI Yogya Mengadu ke DPRD
Soal tindakan apa yang akan dilakukan UGM terkait kabar nama dosen terlibat HTI, Panut menuturkan pihaknya tetap mengutamakan pendekatan persuasif. “Kami di kampus kan ada organ-organ yang bertugas mengawasi dan menangani dosen, pegawai, juga mahasiswa. Rektor tidak bisa mengambil tindakan langsung,” ujar Panut.
Organ-organ kampus ini, Panut menambahkan, berperan mengkaji hal-hal yang dianggap pelanggaran. Seperti Dewan Kode Etik yang menangani persoalan etika dan disiplin. “Nah kalau yang terlibat politik seperti organisasi (HTI) semacam ini, kami masih menunggu arahan Kemenristekdikti, akan ditangani seperti apa,” ujar Panut.
Panut menegaskan karena kabar soal nama dosen terlibat HTI itu belum pasti, pihaknya belum aktif melakukan langkah-langkah tertentu. “Tindakan universitas harus prosedural, ada arahan dari kemenristekdikti dulu, lalu kampus harus melakukan apa,” kata Panut.
PRIBADI WICAKSONO