TEMPO.CO, Jakarta - Polri menyatakan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pemerintah diminta tak lagi berdakwah dengan materi menentang Pancasila dan ajakan mewujudkan sistem Khilafah.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto di Jakarta, Kamis, 20 Juli 2017, mengatakan para mantan aktivis HTI tidak boleh lagi berdakwah setelah pembubaran organisasi itu.
"Kalau dakwah, nanti akan dipantau. Kalau dakwahnya jelas-jelas anti-Pancasila, anti-NKRI, akan kami tertibkan dan amankan," kata Setyo.
Baca:
Status Hukum Dicabut, HTI Pertanyakan SK dan Surat Peringatan
HTI Resmi Gugat Perpu Ormas, Yusril Ihza Sebut Pasal Multitafsir
Para aktivis juga diminta tidak lagi menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut HTI setelah HTI dibubarkan. Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 59 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
"Bahwa ormas dilarang menggunakan nama, lambang, atribut, dan segala macamnya, ya. Yang dilarang ini akan kami tegakkan," ujarnya.
Ia menambahkan, setelah dibubarkan, Polri terus memantau pergerakan para aktivis HTI hingga ke daerah-daerah. Pihaknya menyarankan, bila para pendukung HTI tidak setuju dengan keputusan pemerintah membubarkan organisasinya, silakan menempuh jalur hukum saja. "Kalau tidak setuju pembubaran, sampaikan ke pengadilan," tuturnya.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia secara resmi mencabut status badan hukum ormas HTI. Pengumuman pencabutan status badan hukum HTI tersebut dibacakan di kantor Ditjen Imigrasi, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Rabu, 19 Juli 2017.
ANTARA