TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai pasal-pasal penodaan agama tidak perlu dihapuskan. Sebab, pasal-pasal tersebut menjadi dasar untuk penyelesaian persoalan penodaan agama secara hukum.
"Kalau dihapus pasal-pasal penodaan agama tanpa ada penggantinya, artinya kita tidak memiliki lagi alas hukum untuk menyelesaikan persoalan penodaan dan penistaan agama secara hukum," kata Lukman di Gedung Stovia, Jakarta, Rabu 17 Mei 2017.
Baca: Setara: Kasus Penistaan Agama Cocok Diselesaikan Tanpa Pengadilan
Ia berpendapat jika negara tidak memiliki dasar hukum penyelesaian penodaan agama akan lebih berbahaya. Sebab, kata Lukman, sama saja memberi ruang kepada masyarakat untuk menyelesaikan sendiri perkara tersebut.
"Main hakim sendiri itu jauh lebih berbahaya," ujarnya.
Selain itu, jika pasal penodaan agama dihilangkan, Lukman berpendapat hakim di pengadilan tidak lagi memiliki dasar hukum penyelesaian perkara. "Nanti hakim mau pakai apa," ujarnya. Kementerian Agama, kata Lukman, kini tengah melakukan diskusi fokus bersama para ahli untuk meninjau keberadaan pasal yang termaktub dalam Kitab Undang Hukum Pidana ini.
Baca: Hidayat NW: Penghapusan Penistaan Agama Bisa Suburkan Komunisme
Wacana penghapusan pasal 156a KUHP mengemuka setelah vonis terpidana kasus penodaan agama oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Salah satu pengusul penghapusan pasal tersebut adalah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie yang menilai kasus Ahok sarat muatan politik.
Grace mengatakan vonis dua tahun penjara kepada Ahok atas kasus penistaan agama merupakan sebuah preseden buruk. Dengan contoh kasus tersebut, siapa pun bisa terkena oleh pasal karet itu akibat kepentingan politik. "Kami menuntut pasal penodaan agama dihapuskan," ujar Grace.
ARKHELAUS W | ANGELINA ANJAR SAWITRI
Baca: LBH Jakarta Menilai Kasus Ahok Bentuk Kriminalisasi Politik