TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute menilai kasus penistaan agama idealnya diselesaikan secara non justicia atau tanpa pengadilan. Sebab, terlalu banyak kerugian yang timbul akibat memaksakan kasus penistaan agama diselesaikan lewat pengadilan.
"Salah satunya, lebih murah apabila diselesaikan secara non justicia," ujar Halili peneliti Setara Institute, usai memaparkan hasil penelitian soal penistaan agama, Kamis, 11 Mei 2017.
Halili menjelaskan, penyelesaian secara non justicia lebih murah karena pemerintah tak perlu menyiapkan anggaran untuk pelaksanaan pengadilan. Selain itu, tidak perlu menyiapkan anggaran untuk pengamanan atas persidangan kasus-kasus sensitif.
Baca: Setara: Kasus Penistaan Agama Meningkat Karena Faktor Politik
Halili memberi contoh persidangan kasus penistaan agama yang menyeret mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurutnya, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk mengamankan persidangan itu karena banyaknya massa yang berunjuk rasa di depan lokasi persidangan.
Baca: Setara: Kasus Penodaan Agama Tumbuh dari Pemaksaan Pemahaman
Alasan kedua penyelesaian secara non justicia perlu didorong adalah faktor tekanan massa. Ia berkata, penyelesaian secara persidangan cenderung rentan terhadap tekanan massa.
Tekanan massa yang dimaksud, kata Halili, adalah tekanan agar hasil persidangan sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu. Walhasil, jalannya persidangan cenderung berat sebelah atau trial by mob (diarahkan kelompok tertentu).
"Penyelesaian kasus penyerbuan komunitas Syi'ah di Sampang menjadi contoh. Sebenarnya itu sudah hampir selesai dengan jalur sosial. Namun, karena dipaksa dibawa ke persidangan, konflik antar kubu yang terlibat jadi melebar," ujar Halili.
Sayangnya, sejarah membuktikan penyelesaian non justicia jarang menjadi pilihan. Halili berkata, hasil riset menunjukkan hanya ada 21 kasus penistaan agama yang diselesaikan secara non justicia dari total 97 kasus penistaan agama.
Dari angka 21 tersebut, hanya 14 di antaranya yang terjadi tanpa tekanan massa. Sisanya, massa berperan besar.
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menyampaikan bahwa penyelesaian secara persidangan sesungguhnya bisa diminimalisir oleh penegak hukum. "Misalnya, Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung bisa mengeluarkan surat edaran untuk membatasi penggunaan pasal-pasal penodaan agama dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan perkara di Pengadilan," ujarnya mengakhiri.
ISTMAN MP