TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute mengungkapkan bahwa ada 97 kasus penistaan agama terjadi di Indonesia sejak 1965 hingga 2017. Sebagian besar terjadi karena perbedaan pemahaman soal agama.
"Ditinjau dari perspektif konteks yang melingkupinya, kasus penodaan agama akibat polemik pemahaman keagamaan mendapatkan jumlah tertinggi, " ujar peneliti Setara Institute, Halili, saat memaparkan hasil penelitiannya, Kamis, 11 Mei 2017.
Halili menyampaikan, setidaknya ada 22 kasus penistaan agama yang terjadi akibat polemik pemahaman keagamaan. Dan kebanyakan, polemik tersebut terjadi ketika seseorang mencoba mencari pemahaman lain atas agama yang dianut.
Dengan kata lain, kata Halili, 22 kasus itu terjadi karena seseorang atau pihak tertentu mencoba menutupi multi-interpretasi atas ajaran agama. Ketika seseorang mencoba memahami lebih lanjut suatu ajaran agama dengan mencari interpretasi lain, orang itu malah dianggap menistakan agama dan kemudian diperkarakan.
"Hukum penistaan agama malah dijadikan alat untuk memberangus perbedaan pandangan soal ajaran agama," ujar Halili.
Halili melanjutkan kasus penistaan agama terbanyak kedua dan ketiga pun tak jauh dari unsur menghalangi penafsiran berbeda. Ia berkata, ada 19 kasus penistaan agama akibat polemik kebebasan berpendapat serta 10 kasus karena polemik pembentukan aliran keagamaan baru.
"Jadi, kebanyakan kasus penistaan agama dimulai dari memaksa orang-orang tunduk pada satu pandangan saja, " ujarnya.
Di Indonesia, unsur penistaan agama diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965 serta Pasal 156a KUHP. Pasal 156a KUHP, misalnya, menyatakan barang siapa di muka umum menyatakan ucapan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana. Pidananya adalah penjara paling lama empat tahun.
Pasal tersebut, oleh kebanyakan orang, dianggap pasal karet karena tidak memberi batas yang jelas soal mana tindakan yang benar-benar menistakan agama dan mana yang tidak. Walhasil, ketika seseorang atau suatu pihak memiliki pemahaman agama yang berbeda dari pemahaman umum, berpotensi dianggap menista.
ISTMAN MP