TEMPO.CO, Kendari - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara menyatakan bencana banjir di Kota Kendari pada 14 Mei lalu merupakan persoalan yang kompleks. Salah satunya disebabkan buruknya tata ruang kota di ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara itu.
Direktur Walhi Kisran Makati mengungkapkan tata ruang kota di Kendari dinilai sudah tidak memadai. Pembangunan rumah toko dan bangunan-bangunan besar tidak sesuai dengan tata ruang. Akibatnya, daerah resapan air di Kota Kendari semakin sempit. Kondisi ini diperparah dengan perilaku buruk penduduk yang membuang sampah sembarangan.
Baca: Banjir Kendari Sulteng Landa 11 Kecamatan di Kota
“Infrastruktur drainase harus menjadi perhatian serius agar memiliki daya dukung dan daya tampung yang memadai. Selain itu, tentu harus dibarengi dengan kesadaran semua pihak untuk menjaga lingkungan,” katanya.
Hal lain yang juga mempengaruhi bencana banjir adalah ketika hujan akan berkontribusi terhadap meningkatnya debit air yang membawa berbagai macam material erosi, salah satunya melalui Sungai Wanggu sampai ke Teluk Kendari.
“Di Kota Kendari terdapat 13 anak sungai yang bermuara di teluk. Kondisi sungai-sungai yang ada di dalam semuanya jenuh sedimen dan sampah. Jadi air tidak mengalir dengan lancar dan meluber ke mana-mana,” ujar pria bertubuh kecil itu, Selasa.
Selanjutnya, yang menjadi catatan penting adalah banjir juga disebabkan maraknya aktivitas illegal logging di hulu sungai di daerah Konawe dan Konawe Selatan. Berdasarkan data Walhi, kawasan hulu juga tertekan dengan aktivitas pertambangan dan perkebunan.
Karena itu, Walhi mengimbau perlu ada lintas koordinasi antara pemerintah kota dan kabupaten tetangga tersebut untuk memperbaiki daerah aliran sungai (DAS) dan merehabilitasi daerah hulu.
ROSNIAWANTY FIKRI