TEMPO.CO, Jakarta - Pekerjaan rumah menuntaskan agenda reformasi masih banyak. Hal itu diungkapkan aktivis 1998, Haris Azhar. Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu mengatakan agenda reformasi seiring terjadinya tragedi Mei 1998 dan jatuhnya rezim Soeharto menuntut semua pihak, elemen masyarakat, dan penguasa saat ini kembali ke cita-cita reformasi itu.
Pendiri lembaga advokasi hukum dan hak asasi manusia Lokataru yang juga alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu mengingatkan kembali tentang enam agenda reformasi, antara lain penegakan supremasi hukum; pemberantasan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); amendemen UUD 1945 dengan fokus penciptaan sistem bernegara yang demokratis dan bertanggung jawab; pencabutan dwifungsi ABRI; otonomi daerah seluas-luasnya; serta penegakan budaya demokrasi yang rasional dan egaliter.
Baca juga:
Peringati Tragedi Mei 1998, Haris Azhar: 2 Tipe Aktivis Reformasi
Dalam beberapa hal, Haris mengakui cukup terpenuhi, misalnya pencabutan dwifungsi ABRI, di antaranya dengan pencabutan keberadaan anggota ABRI di DPR/MPR dan keberadaan militer aktif di birokrasi pemerintahan. Namun dalam supremasi penegakan hukum, pemberantasan KKN, dan penegakan demokrasi masih banyak catatan. “Dalam pengusutan pelanggaran hak asasi manusia, misalnya pengungkapan kasus penculikan dan tragedi Mei 1998, saya sudah bicara dengan orang yang dianggap penting dalam pemerintahan untuk bisa mengusutnya. Tapi belum ada hasil,” ujar Haris.
Pekerjaan rumah, termasuk terkait dengan mantan-mantan aktivis 1998 dan tokoh-tokoh reformasi yang saat ini dekat dengan sumbu kekuasaan, menurut Haris, harus diselesaikan. “Tetap pada agenda reformasi,” tuturnya.
Baca pula:
Tragedi Trisakti, Ada Napak Tilas Mengenang Pahlawan Reformasi
“Seharusnya mereka tidak berurusan dengan siapa pun atau kelompok mana pun yang menjadi bagian dari masa lalu atau yang menghalangi agenda demokratisasi Indonesia.”
Haris kemudian menyebutkan dua tipe aktivis reformasi dan menyayangkan salah satunya. “Mereka masuk ke rezim lalu jadi ‘juru benar’ si rezim. Kasihan sama yang seperti ini,” katanya. Tipe lain, menurut dia, adalah mereka yang masuk ke posisi tertentu tapi bukan “juru benar”. “Yang tipe kedua ini lumayan, tapi sedikit jumlahnya,” ucapnya. “Saya tidak mengapresiasi orang munafik.”
S. DIAN ANDRYANTO