TEMPO.CO, Ponorogo - Empat desa mengalami kesulitan air bersih karena ketergantungan suplai air dari sumber yang ada persis di titik nol bencana tanah longsor Desa Banaran, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
"Di Desa Wagir Kidul, masalah air bersih dialami warga kami di Dusun Kerep yang memang selama ini bergantung dengan aliran air bersih dari Banaran. Infonya yang parah malah ada di tiga desa sebelah," kata Kepala Desa Wagir Kidul Siti Aminah dikonfirmasi di Posko Tagana, Desa Wagir Kidul, Selasa 4 April 2017.
Baca: Longsor Ponorogo, 14 Rumah Darurat Siap Dibangun
Tiga desa lain yang selama ini bergantung pada suplai air bersih di Desa Banaran Kecamatan Pulung tersebut masing-masing adalah Desa Singgahan, Bedrug, dan Tegalrejo. Warga saat ini hanya mengandalkan air dari hasil penampungan air hujan yang keruh untuk keperluan MCK (mandi cuci kakus) dan sebagian untuk kebutuhan konsumsi.
"Kalau di Dusun Kerep dampaknya tidak separah di Singgahan, Bedrug ataupun Tegalrejo karena warga kami masih bisa mendapat air bersih dari tiga dusun lain sekitar yang sumber airnya bukan dari Banaran," tuturnya.
Informasi dari Kades Banaran Sarnu, sumber air di titik nol lokasi bencana tanah longsor Dusun Tangkil memang terdapat tiga mata air. Satu di antaranya bahkan disebut Sarnu dan beberapa warga memiliki debit sangat besar. Sebab, untuk menyalurkan air bersih ke sejumlah desa di bawahnya serta memenuhi kebutuhan PDAM, di titik sumber dibangun instalasi tiga pipa besar dengan diameter sebesar batang pohon kelapa dewasa.
"Yang kami tahu sumber air di sana memang sangat besar dan menjadi tumpuan suplai air warga desa di bawahnya," kata Mujiat, warga Desa Banaran.
Baca: Longsor Ponorogo, BNPB Antisipasi Bencana Susulan
Belum ada konfirmasi langsung dari Kepala Desa Singgahan, Bedrug maupun Kendalrejo terkait dampak hancurnya instalasi air bersih di lokasi bencana tana longsor Desa Banaran. Namun, sejumlah warga membenarkan aliran air yang disambung menggunakan pipa dan sebagian lain jaringan selang yang dibangun secara konvensional dan sederhana itu mati total sejak longsor terjadi di Dusun Tangkil, Desa Banaran.
"Kami belum mendapat bantuan air bersih dari daerah ataupun tim BPBD, mungkin karena mereka masih konsentrasi di atas (lokasi bencana)," ujar salah seorang warga Desa Singgahan.
Adapun Kabid Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Ponorogo Setyo Budianto mengaku belum tahu kabar adanya empat desa yang kesulitan air bersih. "Lha saya malah baru tahu ini dari teman media. Kepala desa atau perangkat juga belum ada yang melapor apalagi bekordinasi dengan BPBD atau posko tanggap darurat bencana di sini," katanya.
Baca: UGM Simpulkan 4 Faktor Dahsyatnya Longsor di Ponorogo
Setyo memastikan pasokan air bersih BPBD Ponorogo siap 24 jam untuk menyalurkan bantuan tangki air ke pemukiman yang membutuhkan. "Mau 100 tangki air pun kami siap kapan dibutuhkan. Tapi kalau tidak ada yang lapor kami tidak mungkin bergerak karena tidak tahu lokasi-lokasi mana yang membutuhkan," ujarnya.
Selain beberapa truk tangki milik BPBD Ponorogo yang sudah siaga di sekitar lokasi bencana Desa Banaran, Setyo mengatakan tawaran bantuan armada truk tangki air juga banyak ditawarkan dari BPBD-BPBD tetangga serta Pemprov Jatim.
Warga Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur merasa trauma setelah tanah longsor menerjang pemukiman. Akibat bencana yang terjadi April, 1 April 2017 itu sebanyak 28 warga dinyatakan hilang tertimbun material longsor. Tiga di antaranya berhasil dievakusi dan jenazahnya telah dimakamkan.
“Masih trauma. Apalagi saya melihatnya sendiri yang dalam tiga detik tanah longsor langsung menghantam rumah,’’ ujar Suwito, warga, 37, kepada Tempo.
Baca: Longsor Ponorogo, Cerita Pilu Ibu Muda Kehilangan 8 Anggota Keluarga
Karena tragisnya peristiwa yang dilihatnya secara langsung, Suwito ingin pindah tempat tinggal. Dia berharap agar pemerintah membantu pembangunannya dan penentuan lokasi yang aman. Hal itu setelah dikaji oleh pihak kompeten, yakni ahli geologi untuk mengetahui potensi kerawanan longsor di kawasan perbukitan yang biasa disebut ‘Gunung Gedhe’ itu. “Saya ingin pindah karena kalau tinggal di tempat lama takut,’’ ungkap Suwito.
Nyoto, 50 tahun, warga lain yang juga tinggal di pengungsian menyatakan siap direlokasi. Apalagi, lokasi rumahnya dinyatakan rawan meski belum tertimbun tanah longsor seperti halnya 28 kediaman warga lain. “Saya mengikuti pemerintah. Buktinya, saya diminta mengungsi juga nurut,’’ ujar dia.
NOFIKA DIAN NUGROHO | ANTARA
Video Terkait:
Tiga Korban Longsor Ponorogo, Tim SAR Terus Melakukan Pencarian
Longsor Hancurkan Rumah Sopir, 2 Anaknya Terluka, Satu Meninggal