TEMPO.CO, Jakarta - Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap pemerintah karena Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hari ini, Ahok resmi menempati kembali jabatannya sebagai gubernur dan berkantor di Balai Kota setelah menjalani cuti kampanye sejak Oktober 2017.
“Gugatan ini dukungan kami kepada pemerintah agar selalu menjalankan tugasnya dalam koridor hukum dan perundang-undangan,” kata Wakil Sekretaris Jenderal ACTA Yustian Dewi Widiastuti dalam keterangan tertulisnya, Senin, 13 Februari 2017. Petitum utama dalam gugatan itu meminta agar majelis hakim mewajibkan pemerintah sebagai tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian sementara terhadap Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Baca:
Ini Alasan Ahok Digugat Anak Buah yang Dicopot
Jika Menang Pilkada DKI, Ahok Janji Tak Maju di Pilpres 2019
Menurut Yustian hukum gugatan PTUN itu mengacu pada Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang itu mengatur bahwa Kepala Daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara. Selain itu, gugatan juga megacu pada Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Baca juga: Pengacara Ahok Protes Cuitan Menteri Agama
Menurut Yustian, ada dua hal yang membuat ACTA menggugat. Pertama, Ahok tetap dinyatakan sebagai terdakwa dugaan pelanggaran Pasal 156a meskipun dakwaan bersifat alternatif. Dalam pemberhentian itu, Yustian merujuk pada kasus pemberhentian sementara Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviadi yang juga didakwa dengan dua pasal yang ancamannya ‘lebih dari’ dan ‘kurang dari’ lima tahun.
Ahmad Wazir didakwa pasal 112 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang ancaman hukumannya 12 tahun dan Pasal 127 UU yang sama yang ancaman hukumannya paling lama 4 tahun. “Dalam kasus itu Mendagri memberhentikan sementara, bahkan sejak Ahmad Wazir masih tersangka,” ujar Yustian.
Yustian berdalih klausul ‘tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun’ dalam Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 harus dipahami bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah yang ancaman hukuman maksimalnya adalah lima tahun penjara.
“Kepala daerah yang menjadi terdakwa dengan pasal dakwaan yang ancaman pidana penjaranya 5 tahun atau lebih maka akan diberhentikan sementara,” ujar Yustian.
LARISSA HUDA