TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Easter khawatir pelaksanaan pemilihan Ketua Mahkamah Agung tertutup euforia pemilihan kepala daerah serentak. Sebab, pelaksanaannya dilakukan sehari sebelum pencoblosan, yaitu 14 Februari 2017.
"Saya pribadi terima (informasi pemilihan Ketua MA) baru akhir pekan kemarin. Sangat disayangkan ini dilakukan di H-1 pilkada, masyarakat fokusnya terbelah, kami khawatir ini jadi luput karena euforia pilkada," ujar Lola di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Ahad, 12 Februari 2017.
Baca: Peneliti: Ketua MA Terpilih Harus Mereformasi Lembaganya
ICW menilai jadwal pemilihan itu berlangsung di saat konsentrasi publik dan pers ada pada pilkada, khususnya pilkada DKI Jakarta. Meski demikian, mereka mendesak agar pemilihan Ketua MA tersebut dilakukan terbuka.
Jika mengacu pada pasal 8 ayat 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pemilihan tersebut dilakukan secara internal oleh para Hakim Agung. Pemilihan tersebut harus paling sedikit dihadiri oleh 2/3 dari jumlah hakim MA.
"Jangan sampai kita cuma terima jadi. Jangan sampai Ketua MA terpilih tak lewat proses yang baik, dan berujung pada kualitas ketua MA tak mumpuni," kata Lola.
Baca: Pemilihan Wakil Ketua MA, Hatta Ali: Jangan Ada Suap
Lola berujar Ketua MA terpilih haruslah sosok yang bisa mengakomodir kebutuhan MA. Kebutuhan itu, kata dia, tak hanya terkait masalah hukum, namun juga manajerial. "Salah satunya karena tahun lalu operasi tangkap tangan KPK terhadap MA banyak sekali. Bukan hanya pegawai, tapi juga hakim."
ICW mengapresiasi kinerja Ketua MA Hatta Ali, khususnya mengenai perbaikan korporasi. "MA sudah sahkan Peraturan MA untuk korporasi, tapi banyak hal yang harus diperbaikin ke depannya," kata dia. Yang dimaksud Lola adalah Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
YOHANES PASKALIS